Membangun Nilai dalam Tim Kerja

Refleksi kali ini akan membahas sesuatu yang selama ini masih samar-samar, mungkin bahkan hilang tanpa disadari, dalam tim kita. Apa yang samar-samar dalam kesadaran kita itu? Nilai-nilai kita dan budaya organisasi kita. Untuk tulisan kali ini, mari kita focus dulu di Nilai-Nilai dalam organisasi kita.

Di antara C3 – SNIP selama ini, kita tak pernah secara kelembagaan memikirkan, merumuskan, bersepakat dan menetapkan nilai-nilai apa yang kita impikan ada dan diterapkan dalam tim kita. Nilai-nilai tersebut adalah perekat dan pemberi arti pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, zero tolerance against fraud, inklusi sosial, ramah anak, ramah lingkungan dan lainnya seperti termaktub dalam cross cutting issues dalam program Kemitraan Pendidikan ini. Lebih dari itu, nilai-nilai itu akan memberikan ‘wajah manusia’ pada pola hubungan kerja dan implementasi program organisasi kita ini. Itulah salah satu agenda dalam kegiatan Management Review yang telah kita laksanakan: mencari dan membangun nilai bersama.

Siapa yang membangun nilai-nilai sebuah organisasi? Bila kita kembali melihat teori organisasi yang pernah saya tuliskan dalam tulisan refleksi sebelumnya, Edgar H. Schein dalam bukunya Organizational Culture and Leadership (2004) menjelaskan budaya organisasi, yang didalamnya terdapat kepercayaan, nilai, tradisi pola hubungan dan seterusnya adalah hasil bentukan para pendiri oragnisasi itu.

Menurut Schein, budaya oraganisasi dibentuk “by shared experience, but it is the leader who initiates this process by imposing his or her beliefs, values, and assumptions at the outset… Cultures basically spring from three sources: (1) the beliefs, values, and assumptions of founders of organizations; (2) the learning experiences of group members as their organization evolves; and (3) new beliefs, values, and assumptions brought in by new members and leaders” // budaya oraganisasi dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang dialami bersama, tapi pemimpin lah yang memulai proses dengan menampilkan kepercayaan, nilai, dan asumsi-asumsinya pada lingkungan yang ada… Budaya pada dasarnya muncul dari tiga sumber: (1) Kepercayaan, nilai dan asumsi pendiri-pendirinya, (2) pengalaman pembelajaran para anggota tim begitu organisasi mulai bergerak, dan (3) kepercayaan, nilai dan asumsi yang baru yang dibawa masuk oleh anggota atau pemimpin anyar yang baru bergabung ke dalam organisasi (h.225).

Kembali kepada pertanyaan siapa yang membangun nilai-nilai itu, Schein tegas menunjuk para pemimpin. Ya.. menurut saya, agak keterlaluan saja dia dengan mengecilkan peran anggota tim dalam membentuk nilai-nilai organisasi. Terus terang, saya tak suka ide Schein itu. Kenapa kita tidak mencoba sebaliknya, anggota tim lah yang membentuk nilai-nilai itu. Ya.. anggota tim yang harus membentuknya, karena mereka adalah mayoritas dalam tim kita. Ini tantangan. Tapi bagaimana caranya? Itu pertanyaan yang hinggap di kepala saya beberapa waktu sejak saya mengutip pemikiran Shein dalam tulisan terdahulu sampai beberapa waktu sebelum kegiatan kita kemarin.

Lalu dibuatlah skema bersama di tim C3. Awalnya, kegiatan ini hanya diperuntukkan untuk C3, namun karena ada peluang yang lebih besar, maka cakupannya diperluas hingga ke level SNIP. Peserta menjadi massif dan gemuk. Bisa dibayangkan, diskusi macam apa dengan 64 orang untuk menyusun nilai-nilai keorganiasian? Dengan peserta yang massif itu, biasanya, yang terjadi adalah orang yang berbicara hanya itu-itu saja, mayoritas yang lain hanya diam, ngantuk dan tidur. Bila nilai-nilai sudah diputuskan, anggota tim yang diam itu tidak merasa memerlukan nilai-nilai yang disepakati, tak peduli dan akhirnya nilai-nilai itu hanya sebuah pepesan kosong. Betul, ngga? Itu tantangan kedua.

Untuk menjawab tantangan itu, maka perlu pendekatan yang berbeda. Dibentuklah tim kecil di C3 untuk mempersiapkan acaranya, walau tak semua memikirkan hal ini. Tim ini akan memakai pendekatan yang sama seperti dalam Kurikulum 2013 dalam pembelajaran untuk siswa, yakni menekankan pada sikap – keterampilan – pengetahuan (attitude-skill-knowledge: ASK). Jadi , bukan sebaliknya: pengetahuan – keterampilan – sikap. Pendekatan ASK itu lebih memberikan praktek dan contoh, dilakukan identifikasi dan refleksi, lalu dirumuskan dan disimpulkan menjadi pengetahuan (knowledge).

Diharapkan, pendekatan dalam penyusunan nilai-nilai yang perlu ada dalam tim kita bukan sebuah kegiatan yang berisi instruksi atau kajian-kajian yang membosankan. Sebaliknya, penyusunan nilai-nilai itu aktif, nilai-nilai dialami secara personal setiap anggota, nilai-nilai dipahami secara keseluruhan tim, menyadarkan anggota tim pentingnya nilai-nilai itu diterapkan, dan nilai-nilai itu diketahui dan disepakati untuk diterapkan.

Itu konsepnya. Kita Bagaimana kita membangun nilai-nilai dalam wujud konkritnya? Lha, ini tantangan level ketiga. Tim kecil C3 itu berpikir, caranya adalah dengan memfasilitasi peserta untuk menafsir peristiwa-peristiwa di tingkat personal dan organisasional. Peristiwa-peristiwa itu bisa jadi sebuah kejadian real, yang kita alami sesungguhnya. Namun kita juga bisa menyusunnya dalam sebuah refleksi atas kejadian rekaan, sebuah fragment dalam permainan dan seterusnya. Karena kita berada dalam sebuah kegiatan yang dijadwalkan hanya setengah hari, maka peristiwa rekaan yang paling menjadi opsi. Maka, disusunlah jadwal kegiatan teambuilding yang in-door dan out-door itu. Alhamdulillah, semua kegiatan terlaksana dan nilai-nilai organisasi tim kita bisa diidentifikasi dan disusun secara bottom-up.

Ini bukan sebuah hal baru sebenarnya. Sering ada kegiatan ice breaking dan diikuti interpretasi nilai-nilai apa yang ada dalam ice breaking itu. Yang membedakan kali ini adalah kita sengaja membuat kegiatan itu untuk menggali nilai-nilai yang perlu ada untuk tim kita dan menerapkannya dalam semua level organisasi dalam keseharian kita. Lalu, apa nilai-nilai yang kita petik dalam kegiatan itu? Banyak sekali yang muncul dan disampaikan oleh anggota tim dalam kegiatan itu, namun kita bisa mengelompokkannya sebagai berikut.

Team work
, kesadaran membangun tim. Setiap dari kita menyadari tugas yang kita jalankan bukanlah tugas ringan. Tugas membangun madrasah ini berat karena intesitas dan beban kerjanya, luas karena area pengembangannya adalah 8 SNP dan tersebar di 11 propinsi, serta massif karena melibatkan 1135 madrasah, dan besar nilai rupiah yang harus kita kelola secara amanah. Tanpa tim yang handal, susah mencapai tujuan program Kemitraan Pendidikan ini dalam aturan kerja dan batasan waktu yang tersedia. Lalu, Team work yang seperti apa?

Reliability
. Tim yang hebat yang bisa DIHANDALKAN. Tim kita adalah tim Handal. Pak Munir mengingatkan kita tentang semangat juang Nabi dalam Perang Badar, dimana tim perang berisi 300 orang mengalahkan mereka yang berjumlah 30 ribu. Kebenaran dimana pun bisa dilumpuhkan oleh segerombolan orang yang bekerja secara solid dan handal. Demikianlah agama kita mengajarkan. Dalam kegaitan outdoor memasak itu, hanya tim handal yang mampu selesaikan semua kerja memasak tepat waktu, yang mampu menggerakkan semua anggota untuk memaksimalkan semua potensi yang dimilikinya. Semua potensi itu diarahkan untuk menyelesaikan semua tugas, target dan mencapai tujuanl bersama.

Respect
, dalam kegiatan “Ceritaku Menarik” kita diajak untuk menjadi pendengar yang baik, responsive terhadap aspirasi. Bila ada usulan untuk perbaikan, segerakan kita meresponnya. Respek bisa kita kembangkan dalam arti keseluruhan aspek, komunikasi, relasi, bahkan guyonan kita. Lebih jauh lagi, kita harus saling menghormati siapapun. Respek adalah syarat utama bila kita akan menerapkan prinsip-prinsips inklusi sosial (social inclusion). Tak ada lain dari misi Nabi Muhammad hadir ke bumi selain memberikan teladan berakhlaq yang luhur, yang dihormati dan menghormati.

Honesty
. Jujur itu mahal, berat dan pahit. Bila kita berprinsip seperti itu, hampir pasti kita telah melakukan ketidakjujuran sebelumnya. Lihatlah madrasah kita yang telah berlaku tidak jujur kepada kita. Mari kita lihatlah madrasah kita yang telah berlaku tidak jujur kepada kita. Betapa mereka merasa bersalah, membuat kebohongan baru demi menutup kebohongan lama. Kebohongan beranak pinak untuk menutup sebuah kebohongan yang dilakukan sebelumnya.

Sebaliknya, jujur itu murah, ringan dan manis. Mewujudkan perilaku jujur itu adalah fitrah kita sebagai manusia. Kita perlu jujur karena kita tak ingin dikhianati. Kita harus jujur karena kita ingin menebar kebaikan. Kita tak perlu dilatih tranparansi dalam keuangan dan program, bila semua proses dilaksanakan dengan jujur. Sayangnya dan sialnya, kita berada di sebuah sistem kemasyarakatan yang banyak ketidakjujuran ini. Secara positif, apa yang akan kita peroleh bila kita bertindak jujur? Banyak. Kita dipercaya. Kita berintegritas. Kita dihormati dan dicintai. Kita akan mendapat banyak barokah.

Mau bukti? Kalau adalah lembaga mitra yang bekerja sama dengan donor internasional dan melaksanakan good corporate governance, memiliki tata kelola yang baik, bisa dipercaya bisa menjalankan tugas dan bisa dipercaya menjalankan amanah, insyaallah program kerja sama itu akan datang kembali. Demikian juga untuk madrasah. Bukankah kita sudah diberi tuntunan nilai keagamaan kit, bahwa berperilaku jujur dan bertindak baik bukan untuk siapa-siapa, namun untuk diri kita kembali.

Pentingnya nilai kejujuran ini muncul dari kegiatan “Memutus rantai masalah”. Semua peserta taka da yang mampu keluar dari masalah pelik itu. Tak ada yang berani mengklaim siapa yang berhasil keluar dari masalah rantai itu sesuai dengan aturan yang ada.

Empowering
. Dalam kegaitan memasak itu, setiap kita memiliki semua potensi, kita perlu tahu sejauh mana potensi kita teridentifikasi, dikembangkan, diberi kesempatan untuk tumbuh. Kita harus saling memberdayakan untuk kita tumbuh dan berkembang. Kita hadir bukan hanya untuk bekerja secara professional untuk turut membangun dan memajukan mutu madrasah. Kita hadir lebih dari itu. Kita membentuk tim ini untuk mengembangkan diri kita. Kita berkembang dan mengembangkan potensi diri kita. Bagaimana caranya? Saling mengisi, saling memberi kesempatan, dan saling membantu. Saling membantu dalam kebaikan di kehidupan saat ini dan ketaqwaan demi kehidupan kelak. Bukankah, yang terbaik dari kita sebagai manusia adalah yang memberi manfaat kepada yang lain.

Focus
. Kita bisa menjalankan tugas yang kita emban karena kita focus pada pa yang kita harus kerjakan, kita focus bagaimana caranya tujuan tercapai dengan sumberdaya yang kita miliki, dengan kemampuan yang kita miliki dan dalam waktu yang telah ditetapkan. Dalam kaca mata kontrak kerja (misalnya, antara SNIP-Cardno, antara saya dan Cardno ), tidak ada gunanya kita bekerja siang malam, bila dalam membantu madrasah kita telah melewati batas waktu yang ditetapkan. Sama halnya, walaupun masakan yang kita bikin enak dalam kegiatan tim building itu, tak ada reward untuk kita bila kita lewat 5 menit dari yang ditentukan dalam aturan main. Fokus akan membatu kita tetap optimis dalam meliihat sebuah persoalan, dan focus akan membantu kita untuk melihat secara positif atas sebuah masalah yang ada. Nilai ini muncul dari kegiatan “Menggambar Diam”. Bila kita focus, walaupun komunikasi dan koordinasi minim, kita pasti bisa mengejar dan mencapai tujuan kita.

———————————————–

Nilai-nilai ini perlu dipahami, dihayati dan diterapakan oleh semua anggota tim dalam keseharian kita berorganisasi. Nilai-nilai ini yang akan menjadi perekat hubngan kerja dan memberikan ‘wajah manusia’ dalam organisasi kita. Nilai dalam sebuah organisasi itu adalah bagian dari sebuah proses panjang. Ia berubah sesuai tuntutan dan kebutuhan organisasi, baik itu karena pengaruh kondisi internal maupun ekternal organisasi.

Nilai adalah lem yang tak Nampak secara fisik dan namun akan menjadi semangat untuk berorganisasi. Mari kita harus teguhkan diri kita, kita tegakkan nilai itu dalam tim kita. Mari kita wujudkan nilai Teamwork : Reliability – Respect – Honesty – Empowering – Focus.

 

Sekali lagi, Teamwork : Reliability – Respect – Honesty – Empowering – Focus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *