Refleksi 2.16

Salam, Tim SNIP.
Istiqomah itu butuh kesabaran dan kekuatan, konsistensi itu sebuah perjuangan…buktinya, sudah lama juga saya tidak menulis. Berikut adalah tulisan reflektif saya, sambil ngisi Workshop Keberlanjutan Mutu Pendidikan Madrasah. Semoga dapat dinikmati….
————————-

Untuk kesekian kalinya saya ditanya, apa setelah Kemitraan Pendidikan bagi madrasah? dan untuk berpuluh kalinya juga saya ditanya, apa yang akan diberikan kepada madrasah?

Ada banyak asumsi di balik semua pertanyaaan itu, dan tentu saja saya juga punya kecurigaan tersendiri tentang motif di balik pertanyaan itu. Saya tidak dalam kerangka berpikir negatif, juga tidak dalam perasaan untuk meremehkan. Tidak, dan sama sekali tidak. Untuk menjawabnya, mari kita lihat kilas balik apa yang telah kita lakukan bersama untuk meningkat mutu pendidikan di madrasah, dan apa peran dan partisipasi setiap dari kita dalam kerja besar tersebut.

Program Kemitraan Pendididikan di level madrasah, diawali dengan sebuah ikatan kontrak, yang kemudian berbagai kegiatan peningkatan kapasitas untuk madrasah dikembangkan bersama anatara C3 dan SNIP. Pelatihan pertama adalah Peningkatan Madrasah Efektif (Effective School Improvement), sebuah usaha untuk memberikan gambaran besar bahwa setiap lembaga pendidikan dapat dan bisa berkembang jauh melebihi kapasitas dirinya. Sebuah mimpi dan visi besar dikembangkan bersama oleh stakeholder pendidikan madrasah, di level madrasah. Kepala madrasah, ketua ayyasan, guru dan orangtua murid diajak untuk membangun sebuah “Strategic Intents” mereka dalam mengelola layanan pendidikan. Pelatihan ini, diikuti oleh sebuah pelatihan yang lebih praktis dalam menyusun sebuah perencanaan dalam mencapai visi dan misi mereka. Madrasah diajak menyusun RKM dan RKAM, sebuah School Plan yang lebih terarah, terukur, terjangkau dan sistematis.

Selanjutnya, madrasah diajak untuk untuk memperbaiki sistem administrasi dan tata kelola keuangan, membangun budaya hidup sehat dan profesional, mengembangkan kurikulum dan menerapkan sebuah pembelajaran aktif dan berfokus pada murid, mempraktekkan manajemen perpustakaan yang lebih efktif. Pelatihan-pelatihan saja tidak cukup, dan tidak akan ada dampak dalam tataran implementasi program tanpa adanya biaya yang memadai dan program pendampingan oleh para mentor madrasah. Madrasah sasaran disediakan hibah, sebagai dana pancingan dalam mengundang dan melibatkan partisipasi masyarakat yang lebih besar dan lebih luas. Dari di sisi implementasi, mentor tak kenal lelah dan mau menanggung resiko dalam mendampingi madrasah. Merekalah konsultan semua madrasah sasaran dalam menerapkan program, dan dalam kerangka yang lebih besar lagi, untuk meningkatakan mutu pendidikan madrasah.

Pada akhirnya, dalam waktu lebih dari satu tahun pengembangan kapasitas madrasah dalam meningkatan mutu pendidikannya, melalui skema pelatihan-pendampingan-hibah, madrasah dipersiapkan untuk memasuki proses akreditasi. Akreditasi dipersiapkan untuk mensertifikasi mutu yang yang telah dikembangkan dan ditingkatkan oleh maddrasah. Sehingga tidak heran, 90% madrasah sasaran tahap 1 dan 2 mencpai predikat A dan B.

Kini dan setelah itu semua, dua pertanyaan di atas muncul: Kemitraan Pendidikan akan memberikan apa lagi untuk madrasah? atau, apa lagi program untuk madrasah?

Dalam banyak kesempatan, saya mengatakan bahwa Kemitraan Pendidikan telah mengeluarkan semua formula untuk turut membangun mutu madrasah, semua jurus telah dikeluarkan untuk memajukan madrasah dengan modal pakeet pelatihan-pendampinganhibah $AU 10ribu. Kalau ditanya apalagi untuk madrasah sasaran, maka saya menjawab tidak ada lagi. Jujur, tidak ada lagi rumus dan jurusnya. Bahkan suatu kali, saya sempat mengajak bertaruh ‘potong sepatu’ pada peserta workshop di salah satu propinsi sasaran untuk bila ada madrasah yang menerima program bantuan lain yang begitu lengkap selain dari Kemitraan Pendidikan ini. Alhamdulillah, tak ada yang berani bertaruh. Artinya, semua yang saya utarakan memang bukanlah sebuah kebohongan atau membual.

Namun bila yang dimaksud dengan pertanyaan itu bukan sebuah pertanyaan tapi sebuah permintaan yang terselubung dalam sebuah pertanyaan untuk tetap memberikan bantuan, maka hal itu tentu di luar kewenangan saya untuk memberikan jawaban. Dan saya, saat ini hanya punya ajakan dan saran untuk madrasah terhadap dua pertanyaan itu.

Untuk menjelaskan ajakan dan saran saya, perlu kita pahami bersama bahwa, seperti yang saya sebutkan di atas, program Kemitraan Pendidikan Australia Indonesia ini adalah paket lengkap dalam meningkatkan mutu pendidikan madrasah. Maka, setelah ikatan kerja sama program Kemitraan Pendidikan ini berakhir, maka saran dan ajakan saya adalah sebagai berikut:

Pertama dan yang utama: Madrasah harus merubah cara pandangnya, pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Selama ini, madrasah dan beberapa lembaga pendidikan sering melihat diri mereka sendiri adalah badan atau lembaga yang memerlukan uluran tangan semua pihak. Pada titik tertentu, memang benar bahwa madrasah lahir dari rahim kebutuhan masyarakat untuk memberikan pendidikan pada anak-anak mereka. Sehingga, masyarakat secara suka rela membantu madrasah untuk beroperasi. Sejalan dengan waktu, adanya BOS dan kampanye pendidikan gratis dari pemerintah atau tokoh politik menjadikan banyak madrasah bertumpu pada BOS untuk menjalankan operasi mereka. Ada kesadaran yang menipu bahwa Madrasah dikunci sumber pembiayaannya: BOS. Hanya saja, seringkali BOS tidak mampu menutup kebutuhan operasional madrasah, terlebih untuk biaya peningkatan mutu. Itu pun, belum tentang masalah tertundanya dana BOS diterima madrasah. Sehingga, pada titik ini, madrasah merasa menjadi sebuah badan yang harus mendapatkan pertolongan dalam bergerak. Madrasah dipersepsikan sebagai sebuah lembaga yang harus ditolong dan mendapatkan pertolongan. Nah, di sinilah muncul sebuah bahaya yang tanpa disadari mengancam keberlangsungan madrasah itu sendiri: Lembaga pendidikan terlanjur nyaman dalam sikap menerima bantuan, sikap “tangan di bawah”, padahal sudah jelas tuntunannya bahwa tangan di atas jauh lebih baik dari tangan di bawah.

Sehingga, dalam pandangan saya, sikap dan cara pandang seperti sudah seharusnya diubah, sudah seharusnya kita berhijrah. Kemana? Kepada sikap saling berjabat tangan dengan siapa pun. Maksudnya adalah saat kita berjabat tangan itu menandakan kita satu posisi yang setara antara satu pihak dengan pihak yang lain. Berjabat tangan menandakan kita sama-sama saling membutuhkan antar para pihak, dan berjabat tangan menunjukkan semua pihak dalam posisi yang setara dan dapat bekerja sama untuk saling menguntungkan. Oleh karenanya, hijrah kita adalah berpindah dari posisi tangan di bawah, menjadi tangan-tangan yang saling berjabatan, tangan-tangan yang saling membutuhkan, yang setara dan saling bekerja sama untuk kemaslahatan bersama. Tentu merubah cara pandang saja bukan pekerjaan yang mudah, apalagi implementasinya. Namun, bila kita yakin bahwa rizki Allah akan datang dari segala penjuru, dari sudut-sudut yang tidak terduga, kenapa kita mencemaskannya. yang kita butuhkan adalah mencari solusi dan menyusun strategi yang efektif dan efisien.

Lalu, kedua, strateginya kita susun. Yang paling penting pada tahap awal dalam penyusun strategi ini adalah pembentukan tim kerja handal, efektif dan kuat. Bila dalam madrasah sasaran, kita punya satu tim: Tim Pengembang Madrasah (TPM). Harus diakui, banyak madrasah yang membuat tim hanya untuk formalitas semata, bukan sebuah kebutuhan untuk membangun madrasa hebat. Tim yang dibentuk adalah si kepala madrasah dan beberapa orang guru. Akhirnya, sejalan dengan waktu, semua pekerjaan pengembangan madrasah kembali menumpuk di pundaknya kamad dan segelintir guru. Idealnya, TPM ini adalah kombinasi tim internal dan eksternal madrasah, yang melibatkan komite, yayasan, dan warga masyarakat yang lebih luas. Lewat tim inilah partisipasi masyarakat yang lebih luas akan dapat dirangkul lagi, setelah dihempaskan pola pembiayaan BOS dan kampanye pendidikan gratis. Saya meyakini bahwa tidak ada pendidikan gratis, karena pendidikan memerlukan biaya. Hanya saja,siapa yang akan menanggung biaya pendidikan itu: pemerintah, swasta atau masyarakat itu sendiri. Inilah, satu makna
dari ‘berjabat tangan’ yang saya maksudkan.

Setelah tim terbentuk, ketiga, madrasah perlu dan harus mereview EDM-RKM-RKAM mereka. Saat ini, perjalanan pedampingan madrasah Kemitraan Pendidikan hanya tiga semester, hanya satu periode RKAM. Dalam periode pendampingan ini, RKAM dibuat dalam konteks dan kondisi madrasah yang berstatus akreditasi TT atau C dan ada bantuan pelatihan-pendampingan-hibah dari Kemitraan. Selanjutnya, madrasah perlu menyusu sebuah rencana yang kondisi sudah berbeda. Katakanlah sudah terakredisati B, dan dukungan dari Kemitraan Pendidikan sudah tidak ada lagi. Maka, Tim Pengembang Madrasah harus melihat EDM-RKM kembali untuk menyusun RKAM untuk tahun berikutnya. Bila revisi RKAM itu tidak terjadi, maka madrasah bergerak tapi tidak kemana-mana, seperti berlari di atas treadmile. Singkatnya, langkah ketiga ini adalah membuat progam tahuan yang baru, misalnya memasukkan pendidikan inklusi. Merevisi adalah sebuah keharusan, karena kondisi dan konteks madrasah sudah berubah, kebijakan berubah tantangan ppendidikan semakin besar!

Keempat, tentu sebuah program perlu merumuskan strategi pembiayaan yang lebih efektifdan multi sumber. Harus diakui, saat ini BOS menjadi sumber utama pembiayaan operasional DAN peningkatan mutu madrasah. Sehingga, yang terjadi adalah dana yang sedikit (dan sering telat datang), harus dialokasikan untuk operasional dan peningktan mutu sekaligus. Efeknya apa? yaa, tidak ada program peningkatan mutu di madrasah. Kalau pun ada, pasti kesulitan implementasi karena minimnya ketersediaan dana. Sumber dana dan pemasukan alternatif bagi madrasah jangan dibalut dengan konsep ‘tangan di bawah’. Konsep tersebut akan sulit diimplementasikan, terlebih untuk daerah-daerah yang miskin. Paradigmanya harus ‘berjabat tangan’, harus pola kemitraan dalam semua aspek, termasuk pendanaan ini. Dalam praktek paradigma kemitraan dalam pendidikan, misal saja, ketika guru mengajarkan pola hidup sehat dan makan sehat, maka anak diminta membawa contoh makanan sehat, dan orangtua murid harus menyediakan makanan sehat tersebut. Bila guru akan menjalankan project-base learning, pembelajaran berbasis proyek, maka wali murid diajak berbicara bahwa orangtua harus berpartisipasi untuk menyediakan kebutuhan untuk pembelajaran tersebut. Dengan demikian, dengan pola kemitraan, pembiayaan pendidikan dapat dibagi dengan masyarakat secara lebih luas dan lebih besar.

Tentu ada hal-hal yang tak bisa dilakukan secara efektif oleh masyarakat umum. Apakah itu? Jaringan kerja profesional untuk madrasah, dan ini menjadi poin kelima. Madrasah harus berserikat baik itu dalam KKG, MGMP, KKM, PGRI, PGMI dan seterusnya. Pengembangan profesi akan lebih mudah bila berserikat dengan rekan dan lembaga yang satu profesi atau bidang. Saya melihat, ada beberapa serikat memiliki kegiatan tapi tidak efektif kemanfaatannya pada anggota, terkadang bahkan tidak ada kegiatannya. Madrasah berserikat untuk menyusun kegiatan bersama yang efektif dalam memberikan manfaat kepada anggota serikat. Dana mana dananya? kalau tidak bisa mendapatkan hibah dari pemerintah atau lainnya, yaa tidak ada pilihan, madrasah harus iuran, alias bantingan. Dengan begitu biayanya akan lebih murah untuk menyelegarakan (misalnya) sebuah pelatihan bersama di madrasah. Inilah manfaat sikat tangan berjabatan, bermitra dengan siapapun.

Terkahir, saat ini madrasah di propinsi sasaran sudah memliki MDC yang memiliki kapasitas yang memadai dalam membantu madrasah untuk meningkatkan mutu pendidikannya. MDC memiliki tim pelatih, memiliki jaringan dengan mentor pendamping, memiliki akses pada kementerian dan pemerintah di levelnya. Madrasah harus terus mengakses manfaat yang dimiliki oleh MDC. Sekali lagi, berjabat tangan ddengan siapapun.

Semoga dapat memberikan manfaat. Mari kita sebarkan kebaikan dan cinta. Dan, Semoga kita bisa istiqomah.

 

Salam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *