Refleksi 2.19

Salam, Tim.

Sebuah catatan reflektif, dalam peristiwa dalam pekan lalu. Semoga bermanfaat.

———————–

Dalam sebuah perjalanan darat dari Malang menuju Surabaya, pada malam sehabis menghantarkan pelatihan Pengembangan Kurikulum Madrasah-Sekolah untuk anggota Konsorsium Peningkatan Mutu Pendidikan di Malang (www.equic.org), saya mengobrol dengan sang pelatih, Bapak Abdullah Sani. Saya harus ngomong banyak dengan beliau. Sederhana saja alasannya, sayalah yang mengemudikan kendaraan, dan obrolan itu adalah cara saya untuk membunuh kantuk. Awalnya, kami bicarakan tentang rute Malang-Surabaya yang selalu macet dalam beberapa tahun ini. Titik-titik kemacetan dan jalan-jalan alternatifnya, hingga perilaku pengendara/sopir yang selalu berpikir bahwa mereka layaknya sopir ambulance – yang selalu merasa dalam situasi darurat dan harus segera sampai pada tujuan, sesegera mungkin. “Kalau ingin buktinya, coba Pak Sani perhatikan mobil pikap pengangkut sayur di depan kita itu, ia layaknya ambulance,” saya berkata. Terang saja, mobil pikap yang baru saja melewati kendaraan kami dari sisi kiri meliuk-liuk dalam kecepatan tinggi. Ya, ya…. ujarnya.

Obrolan berlanjut dengan cerita saat istri saya mengikuti ujian untuk mendapatkan surat ijin mengemudi saat berada di Australia. Saat itu, ada tiga jenis ujian yang harus dilalui: ujian teori, ujian simulasi dan ujian praktek. Setiap ujian itu harus bayar, dan bila gagal, harus ikut lagi dan bayar lagi. Bila sudah lulus ujian praktek, pihak berwenang akan mengeluarkan ijin mengemudi percobaan (probation) selama beberapa bulan. Bila dalam periode itu tidak ada pelanggaran, maka akan diberikan surat ijin mengemudi secara penuh. Nah, dalam setiap surat ijin penuh itu ada poin. Poin ini akan dikurangi setiap kali ada pelanggaran yang tercatat oleh kepolisian. Bila poinnya sudah nol, maka dengan sendirinya ijin mengemudinya akan dicabut.

“Nah! Ini yang saya sebut kompetensi, pak!” ujar Pak Sani begitu keras suaranya dan begitu bersemangat mengungkapkannya. Saya tersentak juga, kok tetiba beliau terhenyak, dan saya berpikir ini pasti ada sesuatu yang sangat penting yang akan segera keluar darinya. “Jadi, pak. Sering dalam sebuah pelatihan saya mengilustrasikan kompetensi itu sebagai sebuah keadaan kita dalam berkendaraan di jalan,” Pak Sani memulai cerita dan penjelasannya,”kita perlu mengetaui apa saja alat dan fitur kendaraan kita. Kita harus tahu teorinya menambah kecepatan, mengurangi kecepatan, menyeimbangkan kendaraan, saat kita belok harus bagaimana dan seterusnya. Itulah PENGETAHUAN tentang berkendaraan. Pengetahuan ini harus melekat erat dengan keterampilan kita dalam mengendarai alat transportasi. Misalnya motor, kita harus punya KECAKAPAN atau KETERAMPILAN saat menyeimbangkan diri di atas sadel, mengatur kecepatan dan memahami dan mempergunakan segala alat dan memfungsikannya. Dengan keduanya ini kita sudah mampu mengendarai motor. Namun demikian, haruslah dilengkapi dengan SIKAP kita saat berkendaraan. Kita harus bersikap untuk mengutamakan keselamatan, ketaatan pada aturan lalu lintas, dan kepentingan orang lain di jalan raya.

Ketiganya inilah yang saya sebut kompetensi berkendara. Kompetensi ini haruslah dilegalkan dalam sebuah pengakuan oleh pihak yang berwenang, sebuah SERTIFIKASI. Inilah yang kemudian kita perlu memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Kesemuanya ini merupakan syarat kita akan disebut berkompeten dan berkualifikasi dalam berkendaraan. Sejalan dengan waktu, kompetensi dan kualifikasi akan naik turun. Kita bisa jadi melanggar aturan lalu lintas. Itu artinya, kita menciderai kompetensi dan kualifikasi kita dalam berkendara. Oleh karenanya, SIM kita perlu dibolongi. Bolong atau lobang ini menandakan kita melanggar aturan, kita salah. Sehingga, bila bolong-bolong pada kartu SIM sudah mencapai angka tertentu, maka SIM kita harus dicabut, karena kita sudah tidak berkompeten dalam berkendara. Rupanya, apa yang saya pikirkan itu sudah dipraktekkan di Australia, ya” ujar Pak Sani.

“Nah, kaitannya dengan guru, dalam berbagai pelatihan, kompetensi dan kualifikasi juga saya ilustrasikan seperti dalam berkendara itu. Guru harus tahu apa dan teori mengajar, guru harus cakap mengajar dan menangani anak didik, guru juga harus punya sikap sebagai pendidik. Pada gilirannya, ketiga hal itu harus disertifikatkan. Dengan demikian, kita dapat menyebut mereka adalah guru yang profesional,” jelasnya. Dari sinilah kemudian diskusi saya berkembang ke Permendiknas 16/2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru: Padedogik, Kepribadian, Profesional dan Sosial.

Tiba-tiba pikiran saya jadi berat. Saya menoleh ke Pak Sani. Saya perhatikan dia juga mengalami hal yang sama. Berat! Ya, saya memahaminya begini. Kami baru saja kelar menghantar Pelatihan Kurikulum 2013 untuk guru-guru anggota Konsorsium. Sebagaian besar sekolah dan madrasah sudah membuatnya dan sebagian besar guru punya RPP dengan pendekatan saintifik. Pada kenyataannya, sebagian besar guru di sana mengajar tidaklah mengacu pada RPP. “Coba saat ini bapak dan ibu guru jujur, ya. Siapa yang mengajar berdasarkan buku teks atau buku paket, dan bukan pada RPP? Ayo ngacung!” tanya Pak Sani pada peserta pelatihan. Dan hampir semua peserta mengangkat tangan. Jadi, apa gunanya RPP? Lalu dengan jujur pula banyak yang mengaku dokumen RPP mereka hasil copy-paste. Lalu, di perjalanan pulang ini, kami berdua berbicara tentang kompetensi guru. Saya tak bermaksud mengeneralisir, namun apa yang terjadi di pelatihan itu bisa jadi adalah hal yang lumrah terjadi di negeri ini. Bisa jadi. Makanya, Berat!

Tentu saja, walaupun berat pasti harus ada yang dilakukan, dalam skala yang semampu kita kerjakan. Pelatihan Kurikulum ini akan diikuti dengan pelatihan Pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM). Nama pelatihannya mentereng, saya berharap peserta pelatihan Kurikulum akan turut aktif pada pelatihan Pembelajaran Aktif yang akan datang. Harapannya, ada kesinambungan materi. Secara personal, untuk lembaga yang berada dalam binaan yayasan yang saya diberi amanah memimpinnya, implementasi Kurikulum 13 akan menjadi fokusnya. Sehingga, pelatihan pembelajaran aktif sudah harus memasukkan pendekatan sainstifik. Saya pikir, ini adalah sebuah awal.

Beberapa kali saya ditanya tentang perubahan kurikulum. Jawaban saya adalah pendidikan adalah menitikberatkan pada proses belajar. Kesetiaan kita membangun proses yang bermutu dalam pembelajaran akan memaksimalkan pengembangan potensi peserta didik, apapun kurikulumnya.

Semoga memberikan kita memberi manfaat kepada sesama, kemudian kita istiqomah. Semoga.

Salam,

Iksan

230 thoughts on “Refleksi 2.19

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *