Refleksi 2.27

Salam, Tim.

Berikut catatan reflektif saya minggu ini. Semoga bermanfaat. Salam.
———————-
Saat rehat siang, dalam saat pelatihan Kepemimpinan dan Manajemen untuk Siswa-Siswi anggota www.EQUIC.org di Malang, saya ngobrol ngalor-ngidul dengan para guru pembina yang mengantar para murid mengikuti pelatihan. Untuk menghangatkan suasana, cerita-cerita humor selalu menjadi pilihan yang paling efektif, apalagi setelah makan siang. Setelah semua saling berbagi cerita lucunya, pelan-pelan mengarah pada pembicaraan yang serius. tentu saja masih di seputar dunia pendidikan.
Cerita kemudian berlanjut pada kegiatan study visit beberapa waktu sebelumnya. Saat itu, ada seorang kepala madrasah ibtidaiyah yang ikut study visit ke SD & SMP Khadijah Surabaya, yang seakan berkilah bahwa sekolah-sekolah itu bisa maju karena segala kebutuhannya sudah terpenuhi,”sudah kaya” ujarnya. Saya pun mengamininya, karena kenyataannya lembaga itu memang sudah tidak kesulitan pembiayaan. Namun ada yang tidak dia ketahui, bahwa lembaga pendidikan itu tidak berdiri ujug-ujug seperti yang dia temukan saat ini. Butuh perjuangan semua komponen. Butuh gotong royong untuk membesarkannya. Orang sudah melihat mutunya, sehingga berapapun ‘harga’ yang ditawarkan, selalu ada yang membeli layanan pendidikan di sana. Jadi, biaya pendidikan ditanggung bersama antara orangtua, yayasan dan pemerintah. “Tak ada pendidikan formal gratis” adalah statemen yang selalu saya bilang di berbagai kesempatan. Bohong saja ada pendidikan formal gratis. Yang sebenarnya terjadi dalam kegratisan itu adalah sebuah proses pendidikan selalu ada yang menanggung biaya pelaksanaannya. Siapa yang nanggung bisa berbagai unsur; masyarakat, pemerintah pengelola lembaga, individual dan seterusnya.
Untuk pendidikan swasta, khususnya madrasah, bila pembiayaan hanya diserahkan pada negara melalui mekanisme BOS untuk lembaga, BSM untuk murid, TPP dan tunjangan sertifikasi untuk para guru, maka mutu yang didapatkan adalah yang saat ini diselenggarakan oleh madrasah. Kenapa, karena biaya pendidikan subsidi pemerintah yang diterima lebih diperuntukkan program untuk biaya rutin, sangat sedikit komponen untuk peningkatan mutu, dan dihitung berdasarkan jumlah siswa atau guru, bukan sebagai fixed costs per lembaga. Apakah dengan demikian sekolah atau lembaga yang biaya penyelenggaraannya hanya didapatkan murni dari BOS, BSM dan tunjangan guru tidak bisa maju? Bisa, sangat bisa dengan tantangan dan perjuangan yang lebih keras, yang kecepatan progres peningkatan mutunya tak akan secepat seperti yang diharapkan.
Sekarang, tengoklah sekolah dan madrasah hebat, khususnya madrasah dan sekolah swasta, pasti ada kontribusi finansial dari orangtua murid. Kontribusi ini bisa bersifat langsung seperti SPP bulanan atau dikelola oleh Komite sekolah/madrasah atau juga paguyuban kelas. Pola yang terakhir lazimnya terjadi di sekolah/madrasah negeri. Semakin besar biaya yang diberikan oleh orangtua murid, biasanya semakin tinggi standar mutu yang diterapkan di sekolah atau madrasah. Itu lazimnya. Kenapa? karena begitu sekolah/madrasah meminta partisipasi dari orangtua, maka orangtua juga akan menaikkan ekspetasi mutu pendidikan untuk anak-anaknya. Ekspektasi iini sebuah tuntutan yang harus dijawab oleh para manajer sekolah/madrasah.
Yang luar biasa dari kelaziman adalah pendidikan yang bermutu tapi tetap “gratis” dalam arti yang menanggung biaya pendidikan bukan orangtua murid. Bisakah diwujudkan dan bagaimana caranya? Saya masih berkeyakinan, hal itu bisa diwujudkan, dan sekali lagi, dengan perjuangan yang lebih keras dan dengan kecepatan progress yang tak terlalu cepat.
Bagaimana caranya mewujudkannya? Saya ceritakan, sebuah rintisan di sebuah yayasan tempat saya mengabdi saat ini dimana terdapat lembaga pendidikan RA – MI – MTs – SMP dan sebuah pesantren tradisional yang mulai tergerus arus zaman. Karena sebuah rintisan, dan baru saja sedang dimulai, maka jangan tanya hasilnya. Yayasan harus punya kegioatan ekonomi yang hasilnya mampu menopang keberlangsung pendidikan “gratis’ yang bermutu. kami mendiri sebuah Koperasi Serba Usaha. Dalam pandangan kami, koperasi ini akan bergerak untuk pengelolaan pengirimantebu ke pabrik gula, penjualan sembako dan makanan tradisional potensi dari masyarakat sekitar. Yang saat ini sedang digarap adalah usaha pengiriman tebu rakyat ke pabrik gula, dan selanjutnya kegiatan ekonomi yang lain akan digarap. Skemanya, minimal 20% laba adalah untuk lembaga pendidikan, RA-MI-MTs-SMP dan pesantren. Hal ini bukanlah barang baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, dengan Pesantren Sidogiri Pasuruan sebagai flag carier usaha-usaha tersebut. Bagi kami, sebuah rintisan sedang dijalankan. Bismillah.
Adakah strategi lain dalam pembiayaan madrasah? Namun yang lebih penting dari itu adalah membangun semangat gotong royong untuk membangun sistem internal madrasah dalam meningkat mutu pendidikan. Kalau mau gratisan, standar mutu gratisanlah yang kita dapatkan. Mengubah pola pikir dan sikap mental ini adalah pekerjaan yang berat, teruutama dalam kondisi massyarakat yang sudah terbiasa menerima subsidi. Perlu sebuah terobosan untuk memulainya. Oleh karenanya, menggugah kesadaran dan peran orangtua dan masyarakat dalam gotong royong peningkatan mutu pendidikan adalah sebuah keniscayaan, bila kita menginginkan sebuah lembaga pendidikan yang benar-benar bermutu unggul, seperti visi dan misi lembaga-lembaga pendidikan yang ada di sekitar kita.
Banyak yang mengungkapkan, madrasah swasta semakin terceraikan dalam hal partisipasi masyarakat semenjak munculnya BOS dan kampanye politik ‘pendidikan gratis’. Ini berbahaya. Dalam pandangan saya, lembaga pendidikan swasta yang menerima BOS tidak serta merta dilarang untuk memungut biaya peningkatan mutu pendidikan kepada para orangtua dan wali murid. Namun, kondisi perceraian antara madrasah dan masyarakat adalah hal yang mengingkari kodrat madrasah swasta itu sendiri. Madrasah lahir dari masyarakatnya. Partisipasi ini harus ditarik dan dilekatkan kembali ke madrasah. Keduanya harus aktif, dan saling mengisi.
Secara teori, ada tiga unsur untuk membangun partisipasi masyarakat: relasi-kepentingan-kemampuan, sebuah teori yang saya dan tim Kemitraan Pendidikan Australia Indonesia dapatkan dari Pak Hamid Abidin dari PIRAC saat menghantar satu sesi dalam Lokakarya Madrasah Creative Financing tahun lalu. Partisipasi masyarakat akan dengan mudah bila ada (1) koneksi, ada media yang mempertemukan antara sekolah/madrasah dengan para orangtua atau donatur. Bentuk koneksinya dapat bermacam rupa: pertemua formal, informal, pendekatan personal, even/kegiatan dan seterusnya. Dalam proses koneksi itu harus ditekankan adanya (2) kepentingan antar para pihak. Sekolah/madrasahmemberikan layanan pendidikan, sementara orangtua ingin anaknya bisa berkembang segala potensinya. Pada saat itulah disampaikan kebutuhan sekolah untuk mewujudkan keinginan orangtua dalam membangun karakter dan pengembangan potensi anak. Sekecil apapun (3) kemampuan orangtua pada sekolah/madrasah tetaplah diharapkan dan harus diapresisasi oleh sekolah/madrasah. Kemampuan ini bisa berupa dana, kecapakan, waktu dan segala bentuk partisipasi yang bisa dikembangkan oleh sekolah/madrasah. “Think beyond cash” kata pak Hamid.
Sepertinya terlihat mudah, dan saya dapat dengan mudah mempraktekkannya. Alhamdulillah. Ceritanya seperti ini: SMP di bawah yayasan yang saya kelola menerima paket bantuan RKB satu ruang kelas. Kebutuhannya tiga ruang kelas. Bantuan kami kelola hingga membuat dua ruang kelas baru dengan standar yang sama seperti ketentuan. Cara untuk mengundang partisipasi masyarakat yang tinggi adalah kami bikin pertemuan dengan para wali murid (koneksi). Dalam pertemua ini saya minta mereka menuliskan harapan mereka kepada sekolah saat anak-anak mereka berada di sekolah. Mereka menulisaknnya di selebar kertas post-it. Semuanya menuliskan harapannya dan keinginannya (kepentingan). Lalu saya bacakan satu per satu. Ada yang ingin anaknya menjadi guru, montir, orang hebat dan seterusnya. Lalu kami sampaikan situasi sekolah terkini, dan kebutuhan-kebutuhan lembaga pada ketersediaan RKB. Kemudian mereka bersepakat bahwa makan tukang akan ditanggung bergiliran oleh orangtua murid, dari awal pembangunan sampai selesainya RKB. Kami tidak meminta lebih, karena itu adalah  (kemampuan) untuk berpartisipasi pada sekolah. Kami mengapresiasinya. Dua RKB tuntas dalam dua setengah bulan.
Bila ada yang harus direvisi dari teori itu, saya akan menawarkan bahwa Momentum perlu dipikirkan dan dibuat. Kehadiran bantuan satu paket RKB menjadi momentum kami untuk bergerak dalam meningkatkan partisipasi masyarkat di sekolah kami.
Tentu, kawan-kawan atau lembaga lain punya pengalaman yang unik untuk membangun semangat gotong royong membangun mutu pendidikan sekolah atau madrasah. Alangkah baiknya bila semua pengalaman dan tips dibagikan kepada para pengelola lembaga pendidikan yang ingin mengembangkan konsep kegotongroyongan mutu pendidikan ini.
Semoga kita bisa mampu dan mau menyebarkan manfaat kita untuk sesama manusia yang lain. Dan selanjutnya beristiqomah tentangnya.
(Mokhamad Iksan)