Refleksi 2.17

Salam, Tim.
Sebuah catatan setelah subuh. Semoga bermanfaat.
——————————
Dalam sebuah workshop tentang bagaimana melanjutkan program peningkatan mutu pendidikan, seorang peserta bertanya adakah sebuah peluang lain dalam meningkatkan kualifikasi guru di madrasahnya. Si penanya adalah kepalamadrasah, dan menceritakan kondisi lembaganya saat ini yang terletak di sebuah daerah yang terpencil, dalam lingkungan masyarakat yang miskin, dan akses menuju daerah tersebut tidak mudah untuk di tembus. Untuk menuju madrasah ini, dari Pekanbaru, ibukota Riau, harus melakukan perjalanan darat selama delapan jam melintasi berbagai hutan sawit dan karet. Setelah itu, harus tinggal dulu di kota kecil, namanya Tembilahan, esok paginya melanjutkan perjalanan dengan menyeberangi laut menuju Pulau Burung. Madrasah ini memiliki 10 orang guru dan hanya dua yang bergelar sarjana. Rata-rata jarak tempat tinggal para guru dengan madrasah itu addalah satu jam perjalanan. “Dengan kebijakan pemerintah yang semakin menuntut, saya merasa tugas ini sudah semakin berat. Untuk pendidikan guru saja, baru dua yang sarjana. Sementara, guru-guru lainnya hanyalah lulusan Madrasah Aliyah dan para guru dari kalangan tidak mampu,” keluhnya. Kalau ada program bantuan lagi, pinta sang kepala madrasah, bantulah kami untuk pendidikan guru ini. Intonasinya sangat jelas bah dia sedang menghiba dan meminta.

Saya memahami bahwa mengelola pendidikan di daerah-daerah terluar, terpencil dan di kepulauan kecil sungguh lah pekerjaa yang sangat berat. jangankan untuk mengejar mutu, untuk memenuhi standar pelayanan minimum saja, kepala madrasah dan tim madrasah akan menjumpai banyak tantangan, khususnya terkait kondisi geografis dan akses pada informasi, dan dukungan pihak luar. Namun begitu, untuk mengelola sebuah perubahan dalam mencapai pendidikan yang lebih bermutu, sebuah strategi memerlurkan sebuah kerja keras yang lebih besar dan konsisten.

“Kalau saja untuk memajukan pendidikan madrasah cukup dengan hanya bersantai-santai sambil minum kopi atau rebahan, maka di siang ini sudah banyak pengelola pendidikan yang sedang pulas tidurnya dan banyak sekali madrasah-madrasah yang bermutu tinggi di sekitar kita. Sayangnya, untuk meningkatkan mutu pendidikan kita, kita dituntut untuk bekerja keras, dan untuk kondisi di daerah bapak, kita harus bekerja lebih keras lagi,” ujar saya memulai penjelasan atas keluhannya.

Hal pertama yang harus kita ubah adalah cara kita melihat diri kita, ujar saya. Hal ini saya tegaskan karena semua peserta workshop itu adalah kepala dan ketua yayasan madrasah sasaran program Kemitraan Pendidikan Australia Indonesia, yang telah dibantu dengan paket pelatihan di bidang Madrasah Efektif, Penyusunan EDM-RKM-RKAM, Penyusunan Kurikulum 2013, Pembelajaran Aktif, Manajemen Administrasi, Manajemen Perpustakaan, dan Penciptaan Madrasah Hidup Sehat. Setiap setelah pelatihan, madrasah diberi pendampingan untuk imlementasinya. Dan, madrasah diberi hibah sebesar 10 ribu dolar Australia, sekitar 100 juta untuk membiaya implementasi pelatihan itu. Jadi, madrasah menerima paket lengkap untuk meningkatkan mutu pendidikan mereka. Dan memang, kualifikasi pendidikan guru tidak dicakup dalam program yang hanya didesain berumur 3 semester ini.

Saya melanjutkan penjelasan. Saya ambil gelas air minum saya dan saya angkat tinggi-tinggi hinga semua 54 peserta workshop dapat melihat gelas saya. “Sekarang, coba bapak dan ibu lihat gelas ini dan jawab pertanyaan saya: Apakah gelas ini SETENGAH ISI atau SETENGAH KOSONG?” Sejenak, semua peserta diam. Saya ulangi pertanyaannya saya, setengah isi atau setengah kosong? kemudian mereka menjawab secara bersamaan dan berebutan: ‘setengah isi’ dan sebagian yang lain menjawab ‘setengah kosong’.

Kemudian saya melanjutkan, pada kenyataannya gelas itu terisi: setengah berisi air dan setengahnya berisi udara saja – kosong dalam pandangan mata kita. Bila kita hanya melihatnya semata-mata pada kekosongannya, maka kita akan mudah mengabaikan isi dan potensi air setengah gelas ini. Namun, bila yang menjadi fokus kita adalah air sebanyak setengah gelas itu, maka kita akan lebih mudah memikirkan air setengah gelasitu akan digunakan untuk apa, kapan akan dipergunakan, dan untuk tujuan apa air itu akan kita gunakan, untuk kita minum atau untuk menyiram tanaman. Itu semua terserah kita.

“Bapak kepala madrasah yang dari Pulau Burung, sekarang terserah kita mau melihat kekurang-kekurangan kita dan menjadikan hal-hal yang kita ratapi. Sekarang terserah kita apakah kita hanya melihat hambatan-hambatan itu dan fokus dan terus membesarkan hambatan itu dalam pikiran kita. Atau, dan berikut ini pilihan dan saran saya, kita fokus pada modal dan prestasi yang ada pada madrasah kita. Modal kita adalah sudah ada dua guru yang sarjana, semua guru sudah dilatih tentang pembuatan kurikulum dan pembelajran aktif dan seterusnya, saat ini madrasah sudah diakreditasi, saat ini kondisi dan lingkungan belajar madrasah jauh sudah lebih baik setelah dibantu program Kemitraan Pendidikan Australia Indonesia. Saat ini madrasah sudah memiliki jaringan yang lebih kuat dengan sesama madrasah penerima bantuan. Saat ini hubungan dengan mentor-pengawas sudah sedemikian positif dan produktif dalam peningkatan mutu pendidikan. Saat ini, madrasah sudah terbangaun jaringan kerja dengan Pusat Pengembangan Madrasah di propinsi. Saat ini, keterlibatan masyarakat sudah semakin intensif pada madrasah. Nah, sekarang saya bertanya kepada Bapak dan Ibu sekalian. Untuk memajukan madrasah, apakah Bapak dan Ibu sekalian akan bermodalkan semua kesulitan itu atau modal dan prestasi yang telah dimiliki? Gelas itu kosong setengah atau isi setengah?” tentu saja, pilihan mereka adalah yang kedua, bahwa untuk memajukan madrasah mereka sudah punya modal besar untuk terus berkarya dan berprestasi.

Jadi, kita harus bersikap adil pada kenyataan kita. Kita harus pahami ada dua sisi dalam organisasi madrasah kita: ada kekuatan dan kelemahan. Mari kkita jadikan kekuatan yang kita punyai sebagai modal untuk menghilangkan dan membasmi kekurangan kita.

Yang kedua, dan ini sudah saya sampaikan pada tulisan sebelumnya (oleh karenanya, saya hanya copy-paste), Madrasah harus merubah cara pandangnya, pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Selama ini, madrasah dan beberapa lembaga pendidikan sering melihat diri mereka sendiri adalah badan atau lembaga yang memerlukan uluran tangan semua pihak. Bahkan banyak manajer madrasah tanpa menyadari mereka memperlakukan madrasah sebagai beban masyarakat. Misalnya pada ekspresi, “saya tidak bisa meminta bantuan dana ke wali murid karena mereka semua miskin”. Sejalan dengan waktu, madrasah terlena dengan BOS dan membentuk perilaku “tangan di bawah”, sebagai pihak penerima bantuan. Dalam banyak kasus, madrasah kemudian bergantung sepenuhnya pada dana BOS ini.

Dalam pandangan saya, sikap dan cara pandang seperti sudah seharusnya diubah, sudah seharusnya kita berhijrah. Kemana? Kepada sikap saling berjabat tangan dengan siapa pun. Maksudnya adalah saat kita berjabat tangan itu menandakan kita satu posisi yang setara antara satu pihak dengan pihak yang lain. Berjabat tangan menandakan kita sama-sama saling membutuhkan antar para pihak, dan berjabat tangan menunjukkan semua pihak dalam posisi yang setara dan dapat bekerja sama untuk saling menguntungkan. Oleh karenanya, hijrah kita adalah berpindah dari posisi tangan di bawah, menjadi tangan-tangan yang saling berjabatan, tangan-tangan yang saling membutuhkan, yang setara dan saling bekerja sama untuk kemaslahatan bersama. Tentu merubah cara pandang saja bukan pekerjaan yang mudah, apalagi implementasinya. Namun, bila kita yakin bahwa rizki Allah akan datang dari segala penjuru, dari sudut-sudut yang tidak terduga, kenapa kita mencemaskannya.

Semoga dapat memberikan manfaat. Mari kita sebarkan kebaikan dan cinta. Dan, Semoga kita bisa istiqomah.
Salam,
Iksan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *