Refleksi 2.22

Salam, Tim.

Berikut catatan reflektif minggu ini. Alhamdulillah, bisa juga membuatnya di tengah ribetnya bikin laporan. Semoga bermanfaat.

Melanjutkan catatan yang lalu, dalam menjawab pertanyaan rekan tentang bagaimana sekolah yang baik untuk anaknya, saya sempat nyatakan ada tiga tanda bahwa sebuah sekolah atau madrasah itu bermutu: Toilet yang bersih-berfungsi, daftar pinjam yang penuh dari buku-buku perpustakaan, dan sekolah/madrasah yang inklusif.  Jawaban saya itu diperuntukkan pada rekan yang tidak punya masalah dengan biaya pendidikan anaknya. Sehingga, dia cukup leluasa memilih, karena opsinya akan banyak sekali.

Merespon jawaban saya itu, seorang teman yang lain bertanya, bagaimana jika uang adalah masalah tersendiri. “Kalau faktor biaya dilibatkan, bagaimana cara memilih sekolahnya, bro?” tanyanya dalam chatting di sebuah layanan media sosial.  Dalam pemahaman saya tentang kawan ini, pertanyaan ini bukan untuk dirinya. Saya yakin dia tak cukup sulit untuk membiayai anaknya. Dugaan saya, pertanyaan hanyalah sebuah intellectual exercise, sebuah bahan diskusi danrefleksi. Atau, dia mewakili keluarga yang memang kesulitan untuk membiayai pendidikan anaknya.

Saya membalasnya, “pada dasarnya, tidak ada sekolah gratis. Itu hanya bualan politisi. Tak ada yang gratis, orang masuk toilet umum aja kita harus bayar. Kendaraan putar balik aja, dipalakin. Apalagi pendidikan. Pertanyaannya, siapa yang mau menanggung biaya itu. Kalau yang menanggung negara secara penuh, yaa pergi ke sekolah negeri. Kalau orangtua yang mau nanggung, punya duit berapa? Kenapa, ada harga, ada rupa,” jawab saya.

Di tulisan ini saya takkan bicarakan tanggung jawab negara pada akses dan mutu pendidikan bagi warganya. Sudah banyak tulisan mengulas, apalagi rejim pemerintah saat ini punya semangat “Negara harus hadir” untuk kepentingan rakyat, dan atau sebaliknya, masih banyak tanggung jawab Negara yang belum dijalankan untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. Pro-kontra, polemik. Tulisan seperti itu banyak, dan tak akan ada habisnya, kenapa? Tantangan jaman berkembang, kebutuhan bertambah, sementara sumberdaya terbatas.

Tak ada pendidikan gratis, apalagi pendidikan yang bermutu. Ini penting untuk kita sadari, dan inilah angle tulisan saya dalam menjawab pertanyaan teman saya itu. Baiklah, Negara hadir dalam dunia pendidikan dengan mendirikan sekolah dan madrasah negeri yang (harusnya) sepenuhnya gratis, Untuk kalangan swasta atau pendidikan berbasis masyarakat Negara menyediakan BOS, BSM, insentif untuk sertifikasi, penghargaan pada mereka yang berprestasi, dan seterusnya. Semua ditanggung Negara, rakyat dapat mengenyam pendidikan tanpa perlu membayar. Gratis! Faktanya, Negara yang menanggung, yang membayar semua biaya-biaya itu. Dari mana datangnya uang Negara? Yaa, pajak dari rakyat dan korporasi, hasil usaha perusahaan Negara, hibah, dan atau hutang. Lalu, apanya yang gratis?

Kalau kita tak bayar pajak atau menolak membayar pajak dalam bentuk apapun – dan ini hampir mustahil, lalu kita hantarkan anak kita ke sekolah/madrasah negeri yang (harusnya) gratis sepenuhnya, bukankah itu artinya kita mendapatkan pendidikan gratis, tis, tis? Bisa jadi, dan di situlah sebenarnya poin yang akan saya tulis. Mau sampai kapan kita mencari barang dan layanan yang gratisan? Kalau Negara tidak menanggungnya, misalnya, karena ia mendadak kalap dan menerapkan ekonomi neoliberal seutuhnya, apakah kita tidak akan menanggung anak-anak kita untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu? Saya tidak mau menghakimi pilihan seseorang apakah memilih Negara memberikan layanan pendidikan secara gratis, atau memikul tanggung jawab pendidikan adalah kewajiban orangtua. Tidak. Saya hanya bercerita bagaimana tentang seorang bapak.

Begini ceritanya. Ada seorang bapak  di sebuah desa di Malang selatan. Dia hanyalah lulusan pendidikan pesantren salafiyah, setingkat SMP/MTs. Dia seorang petani pekerja keras. Ulet, hingga pada titik waktu, dia mampu membeli truk untuk angkut tebu hasil kebun pertaniannya. Punya tanah di berbagai tempat. Ia punya lima orang anak dan mendidik keagamaan anak-anaknya di lingkungan keluarga. Lalu, setiap anaknya akan lulus Madrasah Ibtidaiyah, dia bertanya kepada mereka, “mau melanjutkan kemana?”. Hampir semua anaknya minta ke pesantren di berbagai daerah di Jawa Timur, dan dia kirim semua anak-anaknya ke pesantren  tepat setelah lulus MI di kampungnya. Uniknya, tak ada satu pun dari anaknya yang jadi pak kyai atau menjadi ibu nyai, di kemudian hari.

Tak satupun dari anaknya mengeyam pendidikan sekolah/madrasah negeri, semuanya lembaga pendidikan swasta yang saat itu dinilai bermutu hebat, pada jamannya. Namun ketika kuliah, anak-anaknya memburu pendidikan di perguruan tinggi negeri. Sebagian anaknya diterima di perguruan tinggi negeri, yang lain di swasta. Hingga mereka lulus.

Apa istimewanya dari cerita ini? Pekerjaan sebagai petani tidaklah seperti pegawai yang gajinya bisa diprediksi besaran dan waktu penerimaannya. Petani dan hasil pertaniannya layaknya berjudi, antara hasil pertanian dan harga pasaran. Dan belakangan hari, si bapak petani ini sering kalah “berjudi” ketika panen pertaniannya tak tepat harga pasaran dan waktu membiayai pendidikan anak-anaknya.  Sejalan dengan waktu, kekalahan demi kekalahan ia alami, tapi satu hal yang ia merasa tak boleh kalah: pendidikan anak-anaknya. Dia jual satu-satu asset hidupnya untuk pendidikan anak-anaknya. Dia tak pernah mengeluh pada keadaan, apalagi pada Negara yang saat itu Soeharto berada pada masa keemasan. Sampai akhir hayatnya, si bapak petani itu tak punya asset kekayaan untuk diwariskan, bahkan semua warisan tanah dari ayahnya dijual untuk pendidikan anak-anaknya, bahkan anak-anak saudaranya. Kini, semua anak-anaknya menjadi pegawai atau ibu rumah tangga. Petani itu adalah bapak saya.

Saya tak akan menilai pilihan orang: menuntut Negara menanggung pendidikan gratisan untuk anak-anak kita atau bertarung dan berkorban untuk memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak kita. Bapak saya yang petani itu mengajarkan saya untuk memilih yang kedua.

Cerita ini tak lain hanyalah sebuah tahaddus binni’mah, sebuah nikmat Tuhan untuk berefleksi.

Semoga kita terus mampu menyebarkan manfaat kepada sesama. Dan istiqomah tentangnya.

 

 

Mokhamad Iksan

Senior Islamic School Accreditation Adviser