Refleksi 2.18

Salam, Tim.
Berikut catatan reflektif saya kali ini (setelah sekian lama belum muncul). Semoga bermanfaat.
—————-
Sidoarjo. Sebuah obrolan ringan sebelum pembukaan kegiatan pembekalan asesor endline untuk simulasi akreditasi untuk program Kemitraan Pendidikan, seorang teman bercerita bahwa betapa takut dan kuatirnya ia saat naik pesawat terbang yang bermesin baling-baling. Dan momen yang paling menakutkan baginya adalah saat akan take off, saat akan tinggal landas. Menurut beberapa info, memang pada saat tinggal landas itu ada detik-detik yang sangat kritis dalam dunia penerbangan. “Coba bayangkan, apa jadinya bila pesawat tidak kuat naik atau mesin mati pada saat itu. Ngeri sekali. Apa yang akan terjadi?”
Yaa, tentu saja turun dengan selamat atau..”ya, tentu jatuh, pak!” jawab saya ringan. Ngeri sekali. Sepertinya, tak akan lagi saya naik pesawat seperti itu, responnya.
Medan. Pada kesempatan lain dan di tempat lain, saya ngorol bersama teman yang lain di sebuah warung kopi Aceh. Teman saya ini bercerita bahwa saat ini dia merasa dalam dilema. Dia mendapati sebuah kesempatan untuk studi beasiswa S3. Inginnya dia mengeyam pendidikan di luar negeri, namun karena orangtuanya sedang sakit-sakitan, dia ingin mengambil S3 di sebuah inversitas di Surabaya saja, kota yang dekat dengan tempat tinggal orangtuanya. Pada dasarnya teman itu menyatakan, “saya ingin dekat dengan orangtua bila kondisi darurat terjadi. Ayah saya sudah sepuh dan sakit-sakitan”.
Saya pahami arah bicara kedua kawanku, antara kesempatan dan kematian. Bila memang ada cara lain untuk mencapai suatu tempat tanpa memakai pesawat jenis fokker, maka kawan ituakan mejalaninya, seperti naik kereta. Mengerikan membayangkan sebuah kematian. Teman yang lainnya juga melihat hal yang sama: bilalah ada kesempatan sebaik apapun itu, sangat mungkin ia memilih bersama orangtua di saat-saat akhir dalam hidupnya, saat kematian menjemputnya.
Tentu saja setiap orang punya pandangan dan sikap tersendiri tentang dan pada kematian. Demikian juga dengan saya sendiri. Bukan soal salah dan benar, tapi bagaimana kita persiapkan diri kita saat menghadapi kematian. Bila saya di posisi dua kawan itu, saya akan mengambil posisi yang berbeda. Saya akan tetap naik pesawat agar lebih cepat sampai pada tujuan, segera melakukan hal lain, segera menyelesaikan tugas di tempat tujuan, dan segera kembali. Saya akan mengambil kuliah di luar negeri, akan saya segerakan untuk mengeyam semua ilmu sebanyak mungkin, dan tuntaskan kuliah S3 di negeri seberang.
Lalu bagaimana dengan kengerian dan kematian itu? Kematian itu sebuah misteri Tuhan tentang kapan dan bagaimana kita, namun pasti ia datang kepada yang hidup. Dalam diri ada energi, baik secara fisik terlihat maupun tidak. Saat kita mati, kalau kita pakai hukum kekekalan energi, energi duniawi kita akan berganti wujud. Kita mengenalnya, alam ruh. Kita akan menuju alam ruh: alam barzah/kubur, alam mahsyar, hingga alam surgawi. Nah yang perlu kita persiapkan adalah perubahan energi atau apa-unsur-unsur energi baik yang akan kita bawa pada alam ruh itu: energi positif hasil amal-amal baik kita, atau sebaliknya (Naudzubillah, semoga kita terlindungi dari yang terakhir ini). Adakah tiga energi yang tetap mengalir bersama ruh kita: doa anak-anak yang soleh solihah, amal jariyah atau ilmu yang bermanfaat? Di sinilah kita harus memastikan bahwa energi kita terus tersambung dengan ketiganya. Ini yang prinsip, bagi saya. Terserah Tuhan kapan, dimana, dan bagaimana perpindahan alam itu akan terjadi. Kita pasrah, yang kita lakukan adalah yang terbaik membangun “pipa-pipa” sambungan energi baik itu. Dengan demikian ini, saya tidak berat hati saat bepergian dengan orang-orang tercinta. Yang saya lakukan adalah mempersiapkan sebuah perencanaan di dunia dan alam-alam selanjutnya, untuk diri saya, keluarga dan lingkungan saya. Selanjutnya, saya hanya berpasrah diri, keluarga dan apa-apa yang saja kerjakan untuk lingkungan kepada Tuhan. Saya berpasrah, dan hanya Dia yang tahu apakah rencana saya akan terlaksana sepenuhnya atau sebagaian, dan berpasrah pada Dia untuk menerima semua persembahan energi-energi yang saja anggap baik dan positif.
Cara berpikir dan bersikap yang demikian ini menyadarkan saya bahwa kita jangan membuan-buang kesempatan, memubadzirkan peluang yang diberikan Tuhan untuk membangun pipa-pipa tadi. Sikap dan pola pikir ini mensyarkatkan kita untuk berbuat yang terbaik untuk menangkap dan menuntaskan peluang dan kesempatan itu. Satu peluang disegera-tuntaskan, peluang yang lain akan hadir. Satu kerja ditunaikan dengan cara terbaik, kita diseru untuk menyegerakan pekerjaan lain dengan sebaik-baik kita mampu. Sungguh, kepadaNya adalah kita mempersembahkan karya-karya terbaik kita.
——–
Dari cara berpikir dan sikap ini, bagaimana saya mengkaitkan dengan kerja di Kemitraan Pendidikan? Baiklah, pertama, kita harus menyadari bahwa Kemitraan Pendidikan (Akreditasi Madrasah) ini adalah pekerjaan besar yang libatkan banyak orang, pekerjaan dengan nilai materi yang sangat besar, dalam sebuah sistem kerja, tujuan, waktu, tempat, dan biaya yang sudah ditentukan: Meningkatkan Mutu Pendidikan pada 1500 madrasah swasta dan membangun eko-sistem mutu yang kuat antar para pihak yang terlibat. Kesuksesan kerja besar ini adalah capaian kerja keseluruhan tim, a superteam not a superman. Oleh karenanya, untuk memberikan pemaknaan pada kerja dan pencapaian yang besar itu perlu saya tulisan ini fokus pada satu titik yang lebih dekat pada cara pikir dan sikap pada kematian seperti saya tulisa di atas. Dalam hal ini, saya memilih fokus pada penutupan kelembagaan Kemitraan Pendidikan Australia Indonesia (Akreditasi Madrasah), yang sering kita sebut ‘closing program’. Dalam kegiatan ini, semua lembaga mitra merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan penutupan, mulai dari penguatan jaringan hingga sebuah festival nan kolosal untuk unjuk prestasi madrasah dan lembaga mitra (tim manajemen, pelatih, dan mentor) secara meriah, di dalamnya juga terdapa tindakan mempromosikan prestasi dan saling mengapresiasi setiap pencapaian. Nantinya, kegiatan yang sebangun sangat muungkin dilaksanakan di level nasional oleh tim Kemitraan (Akreditasi Madrasah). Dan dibalik semua itu, dan pada singkat kata, kami undur diri, kantor akan ditutup. Titik.
Lalu, apakah closing itu sebuah kematian, sebuah perpisahan? Saya bilang, IYA. Mati, dan mungkin dikenang. Boleh jadi kita sedih. Bagitulah, dan itulah hidup. Hanya saja, sedih boleh, karena itu menunjukkan ada keterikatan emosional dan personal yang begitu dekat. Tapi, tidak layak kita merapati dalam waktu yang panjang. Kenapa? yaa…. bukankah sebuah energi yang akan berganti pada energi yang lain?
Kemitraan Pendidikan akan mati, tapi energi perubahan dalam meningkatkan mutu Madrasah akan berganti bentuk penyelenggarannya, berganti konteksnya, berganti modalitasnya, berganti motif atau driving change-nya.. Berganti aktor dan clientnya.. dan seterusnya, dan selanjutnya. Lalu, kenapa kita takut pada kematian? Inilah kemudian yang membuat saya memahami diri saya sendiri kenapa saya tidak menitikkan air mata pada Closing Program Tahap 3 di SNIP MDC Jatim kemarin, sebagaimana penutupan program di dua fase sebelumnya… Inilah yang saya bedakan makna Closing Program kali ini.
——–
Jadi, apakah kawan saya itu mau naik pesawat baling-baling itu dan ataukah kawan yang lain mau mengambil pendidikan S3 di tempat yang jauh dari orangtuanya? Wallua’lam.

Semoga kita mampu dan ikhlas memberikan manfaat kepada sesama. Dan istiqomah di dalamnya.

1 thought on “Refleksi 2.18

  • Thank you for sharing superb informations. Your site is so cool. I am impressed by the details that you have on this web site. It reveals how nicely you understand this subject. Bookmarked this website page, will come back for more articles. You, my pal, ROCK! I found just the info I already searched everywhere and just couldn’t come across. What a perfect site.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *