Involvement & Engagement

Siang itu saya diforward SMS oleh Manager C3, hasil dari proses negosiasi yang panjang dengan tim Kemenag. Isinya, “surat-surat kegiatan SNIP yang mengundang madrasah harus tetap ditandatangi oleh KABID atau yang mewakili, seperti Kabag TU Kanwil, Kasie Kelembagaan atau pejabat lain di Kanwil seizin Kabid.” Isi SMS dan struktur yang sama kemudian saya jadikan bahan email untuk kawan-kawan SNIP.

Respon yang beragam saya terima dari kawan-kawan SNIP, baik yang berupa reply email tunggal ke saya maupun email ke penerima jamak. Ada yang siap langsung tancap gas dan ngebut, ada yang masih gamang untuk melangkah. Kondisi setiap SNIP berbeda menjadikan respon mereka juga berbeda dalam menyikapi hasil negosiasi tersebut. Namun hal yang membanggakan dari setiap respon itu, tak satu pun dari SNIP bersikap mundur dari tantangan. Well done! Mari kita lanjutkan kerja.

—————-

Ada buku menarik karya Belasco dan Stayer (1993) berjudul Flight of the Buffalo: Soaring to excellence, learning to let employee lead. Dalam buku yang berusia 20 tahun ini, Belasco & Stayer memodelkan paradigma kepemimpinan alternatif dari kontrol dan komanda organisasi yang bercorak lama, dimana semuanya ditentukan oleh struktur teratas mulai dari perencanaan, pelaksanaan,hingga kontrol operasional organisasi.

Kemudian mereka menyadari bahwa struktur yang seperti justru mematikan banyak potensi, seperti rombongan banteng yang hanya bergerak bila ada yang menariknya. Belasco memperkenalkan apa yang disebut “new intellectual capitalism” yang meyakini bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin. Dan salah satu statement terkuat dalam buku itu adalah soal melibatkan staf dalam kegiatan organisasi secara keseluruhan: “If you want [people] to act like it’s their business, make it their business”.

Secara pribadi, saya suka sekali pernyataan itu. Bisa dibayangkan bila pernyataan itu kita kontekstualisasikan seperti ini: Jika kita ingin semua orang bertindak bahwa madrasah adalah urusan terpenting dalam hidup mereka, maka kita harus jadikan madrasah menjadi urusan terpenting mereka. Coba kawan-kawan renungkan. Semakin kita renungkan dalam konteks kita, semakin statement itu menjadi sebuah visi kerja kita, berpendar menjadi misi-misi, membelah menjadi tujuan-tujuan kerja.

Sepuluh tahun kemudian, statement itu dikutip dan dijelentrehkan dalam buku lain untuk kalangan dunia usaha, dengan judul ” Leading in Tough Times The Manager’s Guide to Responsibility, Trust, and Motivation” buah karya Deems bersaudara: Richard S. Deems, Ph.D. & Terri A. Deems, Ph.D (2003). Untuk menjadikan sebuah topik menjadi urusan terpenting setiap orang, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Katakanlah, untuk menjadikan madrasah adalah kepentingan paling mendesak semua orang, ada syarat rukun dan syarat sah yang perlu dijalankan. Deems memulainya dengan keterlibatan (involvement). Namun semata-mata terlibat dalam kegiatan SNIP, tidak akan membuat orang yang diundang langsung merasa hidupnya untuk madrasah. Keterlibatan itu penting, tapi itu baru awal dan tidak cukup.

Level di atasnya adalah keterikatan batiniah (engagement). “When people are engaged, they voluntarily commit their minds, hearts, and talents”. Ketika setiap dari kita sudah terikat batinnya dengan madrasah, maka dengan sukarela kita akan memiliki komitmen atas pikiran, hati dan talenta kita untuk madrasah. Keterlibatan akan mencakup orang hanya dalam pembahasan-pembahasan yang bersifat diskusi.

Sementara keterikatan batiniah mengandung rasa kepemilikan atau memantik inovasi, melayani masyarakat, dan merampungkan semua pekerjaan dalam bentuk terbaiknya. Semua orang yang terikat secara batiniah niscaya akan terlibat dalam kegiatan, namun semua orang yang terlibat belum tentu terikat secara batiniah. Sederhananya, tidak semua undangan yang hadir dalam pesta pernikahan untuk berpesta.

Dalam dunia usaha, Deems mendaftar berbagai hal yang perlu dilakukan untuk mengikat batin orang dalam mencapai tujuan bersama yang lebih besar.

  • Dukungan untuk kontrol daerah dan pengembangan kapasitas. Letakkan pilihan kebijakan, kekuasaan dan wewenang sedekat mungkin ke level orang-orang yang bekerja di lapangan. Lalu, semua orang didorong untuk menantang asumsi-asumsi mereka tentang apa hal-hal hebat yang bisa diwujudkan.
  • Membagi keuntungan dan manfaat. Biarkan orang memutuskan pembagiannya. Dengan membagi manfaat ke setiap level terkecil dalam masyarakat, orang akan tahu manfaat kegiatan kita, bahkan secara ekenomis, bagi mereka sendiri. Sejalan dengan waktu, rasa kepemilikan akan muncul.
  • Sabar. Ketika satu hal berjalan di luar yang diperkirakan dan direncanakan, berpegang teguhlah pada kepercayaan kita terhadap tujuan kita sendiri. Bisa jadi, memang memerlukan pendekatan baru, tapi tujuan tetaplah yang diwujudkan. Bisa jadi, tingkat keterlibatan pihak lain justru harus diperluas.
  • Peduli pada keseluruhan. Maksudnya begini, ketika kita hendak mengembangkan madrasah makan yang kita bangun sebenanrnya adalah kebaikan seluruh masyarakat. Jadi kita harus lebih aktif menggalang dan menggugah gairah orang lain. Seperti kata Hillary Clinton, butuh warga satu desa untuk mendidik seorang anak.
  • Kalau salah, akuilah. Tidak ada orang yang bisa bekerja selalu tepat dan benar, tak seorang pun bisa bekerja dengan sempurna. Tak ada. Bila ada yang tak beres, segera cari masalahnya, selesaikan dan segerakan melanjutkan kerja lagi. Jangan kita terjebak pada posisi saling menyalahkan atau berjibaku siapa yang paling benar. Bila terjebak, prosesnya akan panjang, dan sudah pasti pencapaian tujuan terganggu.
  • Sampaikan setiap pesan secara sederhana dan bahasa yang langsung. Kejelasan informasi sangat diperlukan di level pelaksanaan program kerja. Stay simple and direct, sederhana dan blak-blakan, tentu saja saling menghormati.
  • Dalam sebuah sistem social dan organisasi ada manusia, maka hormatilah manusianya terlebih dahulu. Kita bekerja dengan manusia, hidup dan bernafas. Dan pada saat yang sama, kita berbagi kepedulian, keinginan, impian, keceriaan dan sekaligus kejatuhan.
  • Sebutlah apa yang penting. Selalu disebut apa yang penting untuk madrasah. Kita bisa melakukannya dengan mengajukan sebuah pertanyaan, apakah yang saya lakukan sama dengan yang saya kata penting bagi saya, organisasi saya dan bagi masyarakat saya? Dan bagi madrasah, tentunya?

Sepuluh tahun kemudian sejak Deems menulis buku itu, saat ini, mungkin kita perlu membuat implementasi pengikatan batiniah (engagement) kepada semua stakeholder program kita. Semacam undangan untuk dihadiri, laksana pertanyaan yang perlu dijawab, seperti tantangan untuk diimplementasikan, layaknya seorang rupawan yang layak dipinang. Tentu dalam konteks kerja untuk madrasah agar lebih berkembang, untuk sistem pengembangan mutunya, sistem yang memegang wewenangnya, dan seterusnya.

Apakah saya membual? Saya yakin tidak.

————————————

Mari kita mulai dan fokus pada satu poin dari Deems itu, “Dukungan untuk kontrol daerah dan pengembangan kapasitas. Letakkan pilihan kebijakan, kekuasaan dan wewenang sedekat mungkin ke level orang-orang yang bekerja di lapangan. Lalu, semua orang didorong untuk menantang asumsi-asumsi mereka tentang apa hal-hal hebat yang bisa diwujudkan.”

Bagaimana bila konteksnya diubah begini, “Dukungan untuk kontrol daerah dan pengembangan kapasitas telah sepenuh diberikan kepada tim SNIP. Saat ini, EP C3 telah meletakkan pilihan kebijakan, kekuasaan dan wewenang tim SNIP, yang merupakan tim yang bekerja di lapangan. Lalu, semua orang di SNIP didorong untuk menantang asumsi-asumsi mereka tentang apa hal-hal hebat yang bisa diwujudkan, misalnya asumsi bahwa koordinasi dengan Kementerian di wilayah memang berat tapi tujuan mengembangkan madrasah akan memberikan dampak yang signifikan kepada anak-anak didik kita dan akan menjadi tabungan akherat kita kelak”.

Apakah saya berlebihan? Saya yakin tidak.

 

Semoga Bermanfaat. Semoga bermanfaat. Salam Sukses!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *