Memahami Harapan

Dalam sebuah Rakornas Kementerian, Tim C3 mempresentasikan strategi percepatan akreditasi yang bermakna. Skenario presentasinya adalah pengantar oleh para dewan rois C3. Setelah semua strategi dipaparkan, sesi dilengkapi dengan pemaparan best practices oleh para tim dari SNIP.

Best pratices itu dikelompokkan dalam Penguatan Pengawas dan Jaringan Kerja Madrasah, Strategi Pendanaan Madrasah dan Peran Organisasi Sosial, Penguatan Kelembagaan Kanwil dan Strategi Desiminasi Program, dan Program Hidup Sehat (HL) dan integrasi Program GNBN. Dalam mempresentasikan best practices itu, peserta diajak berdiskusi dalam kelompok-kelompok yang ditentukan waktunya, dan bergilir. Setiap kelompok berdiskusi selama sepeuluh menit. Setelah semua kelompok menerima paparan semua best practices itu, dibuatlah satu sesi testimoni madrasah tentang apa yang sebenarnya mereka rasakan dengan program dukungan ini.

Rancangan dan program strategis percepatan akreditasi madrasah dan metode presentasi ala C3 seperti di atas mungkin saja jarang terjadi di level kementerian. Nach, atas dasar asumsi itu saya menanyakan kepada para peserta, apa yang dipikirkan oleh mereka. Tentu, sebagai presenter, atau kawan-kawan saat melatih atau menghantarkan materi pelatihan, ingin ada respon positif. Hal yang sama juga saya harapkan. Kenapa? Hal itu untuk memastikan apakah peserta memahami apa yang kita sampaikan, sejauh mana mereka memahami, apa respon positif mereka – terutama relevansi topik kita terhadap dunia kerja mereka. Pada saat yang sama, kita juga bisaa melihat sejauh mana efektifitvas kita dalam membawakan materi tersebut.

Terus terang ada hal yang saya lupakan. Respon negatif peserta. Kenapa? Respon peserta itu bermata dua: positif dan negatif. Yang terakhir itu yang saya lupa. Dan itulah yang terjadi. Mari kita kilas balik, dan semoga kawan-kawan yang hadir di sana masih ingat fragmen peristiwa berikut ini:

Ada satu peserta, dan satu-satunya, mengacungkan jari. Dalam pokoknya, dia berujar dengan nada menyerang,

“kami hadir untuk membicarakan hal-hal strategis bagaimana mempercepat akreditasi madrasah. Yang dipresentasikan hanyalah pameran keberhasilan-keberhasilan Kemitraan Pendidikan. Apalagi testimoni madrasah ini, saya pikir tidak diperlukan dalam forum ini! ……. ” (wa ilaa akhirihi ).

Begitu mendengar kalimat terakhir itu, saya melirik ke wajah kepala madrasah di samping saya. Masyaallah, saya sedih sekali. Wajah yang awalnya bergairah dan begitu antusias, langsung layu dan kusut. Dia datang ke lokasi Rakornas setelah melakukan perjalanan lebih dari dua jam. Yang awalnya, beban itu sirna saat memberikan presentasi, kini wajah kepala madrasah itu seperti dia sedang menyunggi beban yang tak terkirakan, di luar batas kemampuannya. Wajah itulah yang terus membayang saat mendengar si peserta yang terus mengkritisi program Kemitraan Pendidikan ini.

Saya tidak bisa focus !. Oleh karenanya, saat saya harus menangggapi respon si peserta, pikiran saya adalah membela Si kepala madrasah itu. Makanya, argumentasi saya bersifat defensif. Begitu sesi berakhir, si kepala madrasah segera beranjak pergi, tanpa saya sempat memberikan motivasi balik dan berterima kasih.

———-

Ada bebera catatan saya atas peristiwa tersebut. Pertama, tim C3 bukanlah ‘pemilik’ kegiatan, sehingga ada kegamangan dalam mengelola sesi seperti biasanya tim C3 menyampaikan materi. Yang kedua, sesi tersebut harus mengalah untuk disela satu sesi lain yang materinya berbeda sama sekali dengan yang disampaikan tim C3. Parahnya, dalam sesi sela tersebut, ada ‘perang’ antara pemateri dan lembaga pelaksana Rakornas (insyaallah, ini jadi tulisan yang lain nantinya). Yang ketiga, sesi itu ‘dikeroyok’ oleh sepuluh orang, sementara ada yang hilang di ujung awal sesi. Apa yang hilang? Memahami ekspektasi peserta.

Memahami ekspektasi peserta itu merupakan hal yang penting dalam sebuah proses pembelajaran, demikian disampaikan Nicholas Corder dalam bukunya “Learning to Teach Adults” (2002). dengan memahami ekspektasi mereka, kita bisa mengukur cakupan materi kita, bagaimana kita memenuhinya, dan sejauh mana kita cukup efektif memfasilitasinya. Kalau kita merujuk pendekatan (Introduction, Connect, Action, Reflect, Expand – ICARE) yang dipakai dalam modul pelatihan PAIKEM kita, pemahaman ekspektasi itu berada dalam tahap Connect.

———-

Setelah sesi itu, si peserta yang menyampaikan pendapatnya itu datang menghampiri saya. Dia berkata, “Tadi yang saya maksud itu begini, pak. Program SSQ ini sudah bagus. Jadi, mari kita cari solusi dari hambatan-hambatan yang ada. Sehingga di masa mendatang tidak ada lagi masalah”.

Saya jawab, ” Masalah kami yaa….. banyak, misalnya hambatan geografis. Tapi bapak tidak bilang itu.” seandainya tadi dia bertanya soal hambatan, tentu kita akan mendiskusikannya apa saja hambatan berikut solusinya, bagaimana tim C3 dan SNIP mengindentifikasi resiko dan memitigasinya.

Sambil tetap berbincang dengannya, kembali saya teringat wajah kepala madrasah itu. Dalam hati saya, the damage has done. Kerusakan/kecewaan telah terjadi bahwa kepala madrasah itu telah kecewa. Pikir saya, sudahlah. Hidup harus terus berjalan. Bila ada rasa kecewa, kita harus mengelolanya menjadi energi positif sehingga kita termotivasi untuk menjadi lebih baik. Ibaratnya, bila nasi sudah jadi bubur, maka entah bagaimana caranya bubur itu bisa menjadi lebih nikmati, lebih bergizi, lebih menarik dan lebih memberikan manfaat kepada yang lainnya.

 

Semoga bermanfaat. Salam sukses!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *