Menulis : Salah satu Cara Membangun Mutu

Suatu pagi di akhir pekan, seorang kawan kita mengirim SMS ke saya, untuk mendiskusikan pentingnya peningkatan keterampilan menulis bagi para guru dan kepala madrasah. Usulan kawan kita itu didasari oleh berbagai pertimbangan dan setelah membaca berbagai tulisan reflektif saya. Tentu saja saya menyambut baik ide itu. Bukan semata-mata bawa keterampilan menulis itu diperlukan, namun ada hal lain yang perlu kita gali sebagai manusia.

Menulis itu memang ada ilmunya, bisa mempelajarinya. Di samping itu, menulis adalah sebuah keterampilan dan kita harus berlatih untuk meningkatkan kapasitas kita. Seperti jamak kita ketahui, ada berbagai bentuk tulisan seperti tulisan argumentatif, persuasif, atau deskriptif. Dari sisi cara pemaparan materinya, kita bisa menemui tulisan yang deduktif, induktif atau campuran keduanya.

Tekniknya pemaparan idenya juga beragam, ada orang yang suka dengan monolog seperti susunan ide bahwa aborsi itu adalah tindakan yang salah, dengan alasan a, b, c, d, dan seterusnya, lalu tulisan disimpulkan bahwa aborsi adalah salah. Ada juga orang yang menulis menggunakan teknik dialog dimana dua kutub ide yang berlawanan disajikan dalam secara bergantian (rebutting), lalu disampaikan dimana posisi si penulis. Misalnya, Aborsi itu tindakan buruk karena a, b, c, dan d, sementara dari sisi lain, aborsi itu baik dengan alasan 1, 2, 3, dan 4, dan posisi tulisan yang dibuat si penulis berada di pihak yang pro/kontra dengan alasan i, ii, iii, iv, dan v. (secara pribadi, saya suka tulisan yang seperti ini, karena kita bisa melihat dua hal yang berbeda, pada saat yang sama ada ide baru atau pemikian yang lain dari dua kutub mainstream itu).

Metode penulisan sangat beragam tergantung untuk apa tulisan akan dibuat, misalnya ditulis dengan format yang formal dan rigid seperti tulisan skripsi/tesis, atau tulisan lepas, atau ritmik seperti pantun dan puisi, dan sebagainya, dan seterusnya. Itulah beberapa hal di antara berbagai aspek yang terkait dengan pengetahuan tentang sebuah tulisan, sebagai sebuah ilmu. Kawan-kawan bisa menambahkan, dan tentu saja membantahnya. Apalah saya, karena saya tahu banyak sekali kawan-kawan SNIP yang telah menulis buku, karya ilmiah, tesis doktoral, bahkan ada kawan yang tulisannya dimuat di jurnal internasional. Karena tulisan saya ini bersifat reflektif, maka saya (dan siapa saja) boleh menuliskan apa yang dialaminya. Tentu, sangat subjektif.

Menulis adalah sebuah katerampilan. Keterampilan kita dapatkan dari sebuah latihan. Semakin sering kita berlatih dengan baik, semakin baik hasil latihan kita. Tolong dibedakan berlatih terus menerus belum tentu hasilnya baik, namun berlatih DENGAN BAIK akan menyempurnakan kemampuan kita. Seperti anak-anak yang sedang belajar bersepeda, percuma saja kita terus menerus bilang bahwa bersepeda itu posisi tubuh harus tegak untuk mendapatkan posisi seimbang, harus bergerak agar kesimbangan terjadi lebih lama, jaga rem, lihat jalan, perhatikan rambu dan seterusnya. Itu semua penting, tapi juga bisa menjadi percuma dan sia-sia bila anak kita tak berani berlatih, tak mau berlatih, tidak dimotivasi untuk tetap mencoba, tidak didorong untuk konsistem berlatih. Berlatih seperti terus-menerus belum tentu mendapatkan hasil baik bila proses latihannya tidak baik, misalnya anak kita berlatih terus tetapi tetap dia tetap memakai HPnya terus menerus. Dia berlatih, tapi tak mau mengayuh atau menggowes pedalnya. Yang demikian ini, hasilnya tak akan maksimal. Demikian juga dengan menulis. Mengikuti mata kuliah menulis 12 SKS pun, bila tidak diajak praktek dan berlatih menulis, kita akan tetap kesulitan menulis sebuah skripsi. Tanpa sebuah latih yang terus menerus, susah sekali tulisan kita akan dicerna dengan baik oleh orang lain yang membacanya. Tanpa berlatih menulis dengan baik, tulisan kita akan susah menembus harian nasional. Jadi, menulis itu dilatih. diasah, dipraktekkan, dibiasakan, diujikan, diulangi. menulis. menulis. menulis.
Apa manfaat yang didapat bila kita rajin menulis? Banyak. Pertama, menulis adalah keterampilan yang memerlukan berbagai keterampilan yang berbeda. Menulis membutuhkan keterampilan mengolah berbagai ide yang berbeda. Menulis memerlukan dan sekaligus mempertajam keterampilan kita dalam olah dan analisa data. Menulis membutuhkan keterampilan membaca buku atau tulisan orang lain dan pada saat yang memperkuat kita mengutarakan ide-ide itu dengan bahasa dan pemahaman kita sendiri. Menulis memerlukan dan melatih keterampilan olah pikir kita dengan mengingat dan menafsirkan ide orang lain. Menulis bergantung pada keterampilan mengoperasikan komputer atau keterampilan menggunakan pena dan pada saat yang sama kita meningkatkan kemampuan kita dalam mengetik. Menulis itu membutuhkan waktu tersendiri, dan dengan menulis kita dilatih untuk bisa membagi waktu. Dan bila kita hendak mencetak tulisan kita, maka diperlukan keterampilan untuk mempresentasikan ide kita kepada penerbit. Dan demikianlah seterusnya.

Kedua, ada hubungan yang saling mempengaruhi antara keterampilan menulis dan berpikir. Kemampuan membuat tulisan dengan struktur ide yang ditata secara runtut didapatkan dan dipengaruhi oleh struktur berpikir yang runtut pula. Aspek mana yang paling mempengaruhi, apakah berpikir atau menulis yang berperan, adalah tergantung kondisi dan konteks si penulis sendiri. Kadang ada orang yang berpikir kacau, namun begitu dituliskan struktur idenya menjadi lebih runtut dan logis. Juga bisa sebaliknya, tulisan yang dibuat acak kadut gak karuan, bahkan hukum kalimat Subjek-Predikat-Objek (SPO) saja tidak jelas. lalu ketika berpikir lebih jernih, tulisan itu kemudia bisa diperbaiki agar lebih (misalnya) runtut, logis, atau kronologis. Bila struktur ide itu ditulis dengan runtut dan logis, makan kita akan mampu mempresentasikannya dengan runtut dan logis juga. Ada semacam kausalitas yang intens. Kenapa? Hal ini karena tidak lepas dari sifat dari bahasa itu sendiri. Dalam berbahasa tutur dan tulis kita dipaksa masuk dalam struktur linier ide dan sekuensial waktu, membutuh banyak kata untuk mengungkapkannya.

Rumit? begini penjelasannya. Saat ini, perhatikan tut-tut dalam keybord laptop Anda. Perhatikan dalam lima detik dan ingat-ingatlah. Lalu deskripsikan, secara tulis atau lisan. Bisa jadi, hasilnya akan begini:

—————

Keyboard ada enam lajur. Lajur atas, sebelah kiri diawali tombol “esc”, senlanjutnya tombol F1, F2, dst dan diakhiri tombol “delete”. Lajur kedua berisi angka 1 – 0, diakhiri “Backspace”. Selanjut lajur berisi huruf-huruf, setela “tab” ada “QWERTY” dan seterusnya, dan seterusnya…

—————

Silakan lihat, betapa struktur tulisan itu, (1) idenya disusun secara linier, dari satu ide ke ide lain, dari satu benda ke benda lain, (2) kita terpaksa harus menunggu untuk mengetik atau mengucap “QWERTY”, setelah penjelasan lain ditulis atau disebut, dan (3) untuk menyampaikan ide-ide kita, kita butuh banyak kata-kata untuk mengungkapkannya. Itulah sifat bahsa lisan atau tutur, dalam pemikiran saya. Kawan-kawan bisa melengkapinya atau membantahnya, apalagi para kawan yang memengampu ilmu bahasa, sosiolinguistik, semantika wa ‘ala ahli baitihim. Nah, coba sekarang keyboard Anda itu difoto, lalu dikirim ke orang lain… Yang terjadi adalah “a picture says thousands of words”, satu gambar sudah mewakili beribu kata. Ini yang membedakan bahasa lisan dan tutur dengan visual.

—————————-

Kembali ke SMS kawan kita itu. Bagi saya, tulisan reflektif itu perlu. Bukan hanya pentingnya kita untuk mengembangkan keterampilan menulis kita. Dalam dunia pendidikan, ada hal yang lebih jauh dari sekedar keterampilan menulis. Kita saat ini sedang menjalani dan melaksanakan apa yang disebut program peningkatan mutu madrasah. Dalam melakasanakan program itu, kita perlu berefleksi. Mempelajari yang berjalan dengan baik atau kurang baik, dan apa yang perlu dilakukan untuk perbaikan.

Ada aksi, ada refleksi, lalu muncul re-aksi diri untuk lebih baik. Ini disebut “praxis” dalam konsep pendidikan Paulo Friere. Kita perlu beraksi, berefleksi dan membuat re-aksi untuk peningkatan mutu madrasah. Bila kita hanya ber-aksi saja tanpa refleksi, kita seperti robot dalam sebuah program atau kesadaran yang lebih luas. Kalau kita beraksi, dan merefleksi untuk menjadi jauh lebih baik, itu artinya kita manusia. Kenapa? karena kita belajar untuk menjadi lebih sempurna, baik belajar dari kesalahan maupun best practices kita. Dan tulisan reflektif itu sarana untuk berbagi.

Menulis itu kita akan dikenang sejarah dari lebih lama daripada umur kita. Bisa jadi, kita tidak mengenal Abu Hamid Al-Ghozaly atau Shakespeare bila karya-karyanya tidak dituilis. Jadi, ayo menulis agar kita terus berkembang dan memberi manfaat lebih.

 

Semoga bermanfaat. Salam Sukses!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *