Kenapa kerja Maintenance lebih Susah?

Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan melakukan madrasah visit di Banten, dan bertugas sebagai interpreter, dalam rangka mendampingi DFAT untuk memonitoring pelaksanaan implementasi program di Komponen 3 dan Komponen 1. Untuk Komponen Akreditasi Madrasah, DFAT memandang program sudah sesuai dalam track yang diharapkan. Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada tim SNIP Banten yang telah mempersiapkan kunjungan tersebut.

Ada hal yang mengganggu hati dan pikiran saya sebenarnya dalam kunjungan ini, dan saya yakin, saya akan semakin gelisah bila melanjutkan visit ke madrasah-madrasah lain di Tahap 1 dan menemukan kondisi yang sama. Apakah itu? Program peningkatan mutu madrasah melambat dan bahkan terlihat terhenti setelah ada visitasi dari BAP, apalagi mendapatkan nilai B, terlebih A. Ini sungguh membuat saya sedih.

Baiklah, mari kita sedikit memutar ingatan kita terhadap pelaksanaan program ini.

1. Kriteria seleksi madrasah memuat unsur-unsur “potensi madrasah untuk berkembang”, khususnya dari sisi manajemen dan partisipasi masyarakat. Untuk memastikan mereka punya potensi itu, kita kiriim tim verifikasi ke madrasah.

2. Madrasah dikontrak dalam ikatan hukum bahwa mereka akan melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan, dan bukan sekedar pembinaan dan persiapan akreditasi semata.

3. SNIP diseleksi dan dikontrak untuk melaksanakan pelatihan dan pendampingan ke madrasah, serta penguatan sistem peningkatan mutu madrasah.

4. Dalam berbagai kesempatan (sosialisasi, monitoring visit, pelatihan dan pendampingan), Madrasah diberi kesadaran bahwa progam ini adalah program peningkatan mutu, dan bukan hanya sekedar akreditasi.

5. Output pelatihan didesain sedemikian rupa, madrasah memiliki program dan tim peningkatan mutu madrasah, yakni, Tim Pengembang Madrasah (TPM). Tim yang terdiri dari berbagai unsur keanggotaannya dilatih, didampingi dalam implementasinya, disediakan dana sebagai modal awal untuk mewujudkan madrasah ideal mereka. Stakeholder madrasah dilatih dan dampingi tentang kepemimpinan dan perencanaan madrasah, guru dilatih menyusun kurikulum mandiri dan metode belajar yang efektif dan aktif, dan seterusnya.

6. SNIP dan Madrasah bergerak. Benih-benih peningkatan mutu disemai, tumbuh, segar, dan berbunga. Bunga-bunga itu mekar dan semua warga madrasah menikmatinya. Perubahan itu indah, nyata, terjangkau dan menyenangkan semua orang. Buktinya, tak ada A di baseline dan 50% TT. Di Endline, tak ada TT dan
94% mencapai A dan B. Welldone. Congratulation.

7. Lalu, datanglah tim visitasi BAP. 88% mendapat A dan B, dan 3% C, 9% belum mendapat kuota. Mereka yang divisit A dan B sangat bersuka ria. Selamat, kita semua pasti banga.

8. Empat bulan setelah visitasi BAP itu, bunga-bunga peningkatan madrasah layu. Mereka kehilangan air kehidupan. Madu di bunga-bunga peningkatan mutu itu seakan habis tersedot visitasi BAP. Belumlah serbuk sari itu menjadi buah, daun mulai mengering dan batang kembali meranggas. Madrasah seakan patah semangatnya, habis tenaga, hilang arah peningkatan mutunya. Pelan-pelan kembali ke masa-masa kelam mereka. Sarana tak dirawat. Taman tak bersemi dan kering. Toilet kembali jorok. Pembelajaran PAIKEM tak ada bekas. Kamad kembali pada model kepemimpinan tunggalnya.

9. Dalam pertemuan ini ada Kamad, Yayasan, Komite, Guru dan perwakilan Kasi Penma. Lalu ketika para pegiat madrasah itu ditanya, apa visi pengembangan mereka ke depan? Seakan-akan sebuah koor dan ada yang memandu, “Bila ada bantuan lagi, mohon disediakan bantuan fisik”.

Sungguh, tiap kali menerjemahkan kepada tim DFAT tentang ungkapan yang diulang dalam berbagai istilah oleh tim madrasah itu, semakin saya gelisah. Sedih. Dalam hati saya berseru, Madrasahku, Dimana semangatmu untuk memajukan umat itu berada? Dimana semangat jihad sosial yang dulu pernah ada di madrasah itu? Dimana kemandirian mu untuk hidup dan untuk maju, Madrasahku?

Sore itu juga saya dan tim kembali ke Jakarta. Malamnya, hingga larut saya masih sedih dan bertanya-tanya. Galau, euy…!

Mengaca dari kunjungan ini, saya tidak dalam rangka mencari siapa yang salah, tapi tolong bantu saya menjawab pertanyaan ini, kenapa terjadi hal ini? Kenapa ada kesenjangan yang cukup serius antara output kegiatan dan outcomenya? Kenapa kita berhasil melaksanakan semua kegiatan dengan efektif, tapi tak ada perubahan yang bersifat jangka panjang di madrasah, padahal program ini didesain untuk tujuan jangka panjang di level madrasah dan bukan sekedar selembar sertifikat akreditasi?

 

Sustainability di tingkat madrasah…? Ah, hal itu kian menjadi sangat sulit dicapai.

 

Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat dan membuat kawan-kawan menjadi galau. Semoga Allah masih memberi kesempatan kita untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu.

 

Salam Teamwork (Reliability-Respect-Honesty-Empowering-Focus)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *