Keberhasilan Program adalah Perubahan Prilaku

Tulisan ini saya buat untuk menyambung tulisan refleksi sebelumnya.

Jadi, Betul, saya galau.

Pak Asep merespon tulisan saya dengan mengingatkan kita harus memperhatikan KickPatrick. Bagi saya, pendekatan analisa KickPatrick itu hanyalah sebuah cara untuk melihat apakah program pengembangan kapasitas, khusunya lewat pelatihan seperti yang kita kerja ini, benar-benar memiliki dampak hingga di level perubahan perilaku dan perubahan organisasi. Jadi, ini pendekatan 4 level kirkPatrick itu hanyalah untuk memastikan, misalnya, apakah madrasah berubah karena intervensi program Kemitraan ini, atau karena faktor lain. Tak lebih.

Nah yang menjadi masalah sebenarnya, dan ini yang membuat saya galau, adalah bagaimana output kegiatan kita dapat memastikan ketercapaian outcome program kita, hingga di level perubahan perilaku dan perubahan organisasi madrasah sasaran. Sederhananya, kita melatih Hidup Sehat/HL untuk madrasah sasaran Tahap 1. Output pelatihan telah tercapai, bahwa pelatihan terlaksana, toilet bersih, UKS tersedia, taman mulai berbunga nan indah, wastafel berfungsi. Semua output HL tercapai, baik pelatihannya mau output modulnya. Ini hebat.

Pertanyaannya, apakah masyarakat madrasah sasaran Tahap 1 sudah terbiasa hidup sehat? apakah toilet sudah terjaga kebersihannya, apakah wastafel dirawat, apakah taman tetap selalu indah, apakah UKS tetap bersih, berfungsi dan obat-obatannya lengkap? Jawabannya ternyata tidak seperti dalam bayangan kita. SETELAH Visit BAP, sekali lagi saya tegaskan, SETELAH Visitasi BAP, semuanya berubah, bukan tambah maju, tapi justru makin menurun. Bunga bukan hanya layu, tapi potnya hancur dan berserakan, rumput tumbuh meninggi, toilet kembali jorok, wastafel masih berfungsi tapi lumut juga subur di sana, UKS berdebu.

Apa artinya? outcome yang kita inginkan terancam tak tercapai. Tak ada perubahan perilaku, tak ada perubahan organisasi madrasah. Ini masih dari satu modul, bagaimana dangan PAIKEM? KTSP? Perpus? Admin dan keuangan? dan seterusnya..? Memang, yang saya kunjungi hanya satu madrasah, tidak bisa
digeneralisir. Saya yakin, dari 565 madrasah Tahap 1, pasti ada madrasah yang memiliki perubahan perilaku dan organisasi yang lebih ajeg dan berkesinambungan.

Kembali ke madrasah yang saya kunjungi itu. Apakah madrasah hanya bekerja sampai visitasi BAP semata, bukan peningkatan mutu yang berkelanjutan? Secara jujur, begitulah kecenderungannya. Dimana kesalahannya, apakah di level madrasah, atau SNIP ataukah di level C3? Jangan-jangan, hal ini masuk dalam masalah desain program? Inilah yang membuat saya galau.

Lebih jauh lagi, dalam sebuah program pengembangan kapasitas seperti Kemitraan Pendidikan ini, apa yang dapat menjamin bahwa, output yang tercapai dengan sukses dapat meraih pencapaian outcome yang sukses pula? Bagaimana? Konkritnya gini, bila madrash sudah dilatih PAIKEM dan didampingi implementasinya, mereka harusnya menerpkan pembelajaran aktif, secara terus menerus, tanpa berhenti sekalipun visit BAP memberinya peringkat A. Saya harus buka lagi referensi yang saya punya, ngobrol sana sini, merenung di sela-sela implementasi program yang ada. Belum ada jawabannya.

—————

Ada satu set buku yang saya beli di toko buku loak, di negeri seberang. Ini buku yang agak kuno, “MANAGING YOUR SCHOOL: No-nonsense management strategies for today’s school leaders” karya Jarvis Finger. Saya beli satu set, terdiri dari tiga volume yang terbit 1993. Salah satu tip meningkatkan sekolah efektif, Finger menuliskan bagaimana meningkatkan sekolah dengan mempergunakan perangkat Total Quality management (TQM), yang dikembangkan ahli management dari Amerika, Edwards Deming dan Juran untuk perusahaan Jepang. Ada tujuh tahap TQM yang dapat diterapkan sekolah: (1) Membangun komitmen semua warga sekolah, dimana rencana dilakukan oleh semua warga sekolah; (2) Manajemen ini mengharuskan sekolah untuk berfokus pada proses pendidikan, bukan lulusan; (3) Manajemen ini menuntut bahwa peningkatan mutu adalah pandang hidup dan harus berlangsung terus menerus (KAIZEN); (4) Manajemen TQM menuntut adanya cara kerja yang berorietasi pada kepuasan ‘konsumen’ pendidikan yang tak lain adalah siswa, orangtua, guru, dan pemerintah daerah; (5) Manajemen ini menuntut sekolah untuk menghindarkan kesalahan dan melakukan efisiensi sejak dalam perencanaan; (6) Membangun tim kerja, dengan system partisipatif dalam arti yang sesungguhnya dari setiap komponen sekolah; dan (7) manajemen ini membutuhkan pemberdayaan semua komponen organisasi sekolah.

Dalam pandangan saya, Finger ini bergurau saja. Bagaimana bisa, dan berani-beraninya dia, menjelaskan implementasi tool manajemen manufaktur dalam sebuah organisasi pendidikan, hanya dalam dua halaman saja! Tapi jujur saja, saya suka idenya: TQM untuk sekolah. Saya suka, bayangkan saja: TQM untuk madrasah! Pasti keren. Terima kasih, Finger.

Hanya saja, penjelasan dua halaman itu sedikit keterlaluan dan sembrono kalau mau dijadikan rujukan sebuah program yang besar.

Saat kuliah dulu saya sempat mendapatkan sesi tentang TQM, hanya saja saya tak begitu tertarik untuk mengetahuinya, terlalu bersifat manufaktur, pabrik.Sementara saya memantabkan diri di sector pendidikan. Bagi saya itu terlalu jauh, beda jelas pabrik membuat sabun atau mobil dengan proses mendidik anak. Buku Finger itu rupanya menuntun saya membuka rujukan lain. Rujukan yang perlu diicari adalah apa dan bagaimana TQM itu sebenarnya tool manajemen ini diterapkan. Saya mengambil buku “Total Quality Management: The key to business improvement – A Peratec executive briefing” (1994). Dalam buku yang ditujukan untuk pelatihan para manajer manufaktur ini, dijelaskan panjang lebar, namun saya hanya akan menuliskan 3 Bagian utamanya saja: Konsep – , sebagai berikut:

Bagian 1 adalah Konsep utama yang harus dipahami oleh para manajer untuk menerapkan tool manajemen ini. Ada 6 Konsep dasar yang harus dipahami: (1) Costumer pengguna produk/jasa (baik yang berasal dari eksternal maupun internal); (2) Peningkatan mutu tiadaakhir (Kaizen); (3) Kontrol pada proses-proses kerja; (4) Meningkatkan manajemen pencegahan; (5) Tindakan pencegahan yang terus menerus; (6) Pentingnya Leadership and teamwork.

Bagian 2: Elemen-elemen TQM, mencakup:

1. Mengkomunikassikan misi. maksud dan tujuan

2. Mengumpulkan informasi/data kebutuhan dan ekspektasi costumer eksternal

3. Mengukur kinerja internal

4. Mengidentifikasi semua kesempatan peningkatan (mutu)

5. Menerapkan perubahan/peningkatan mutu yang terus menerus

6. Mengendalikan dan mengkoordinasi program Total Quality.

Bagian 3: Tahap-tahap implementasi TQM, yang meliputi:

1. Statement of intent, gampangnya, sosialisasi maksud dan tujuan perubahan manajemen.

2. Awareness, pembangunan komitmen semua staf.

3. Diagnosis, mereview semua proses yang ada, di semua level

4. Initial strategy, menyusun stategi implementasi manajemen,di semua level.

5. Management consensus, menyepakati dan memutuskan program

6. Launch, menjalankan program mutu total disemua level, oleh semua staf.

Bila kawan-kawan lihat, proses manajemen ini sangat kentara aspek-aspek manufakturnya. Mana mungkin cocok dengan dunia pendidikan, untuk sekolah? Jangan antipati dulu, itulah juga yang ada di kepala saya dulu. Ada buku lain yang mencoba menjembataninya, “Total Quality Management in The Public Sector: An International Perspective” buah karya Colin Morgan dan Stephen Murgatroyd (1994). Setelah menjelaskan apa TQM dan fitur-fiturnya, Colin dan Stephen menjelaskan hasil penelitian di berbagai negara, bagaimana aplikasi TQM dalam sector publik dan non-profit. Sektor yang diteliti adalah sektor Kesehatan, Pendidikan, Pemerintahan dan Layanan Sosial di Kanada, Inggris dan Amerika.

Tentu saja, penjelasan aplikasi TQM di sektor publik harus memuat pro-kontranya, karakter-karakter sektor publik dari sisi manajemen, dan tantangan implementasinya. Demikian juga aplikasi TQM dalam dunia pendidikan. Dari hasil penelitiannya, TQM dapat diapliaksikan dalam dunia pendidikan. Beberapa temuan mereka adalah: guru mampu dan manerima konsep manajemen TQM, bila disesuaikan dengan dunia kependidikan. Guru menyadari, mereka memiliki pelanggan terhadap jasa pendidikan yang mereka berikan dan hal tersebut harus ditingkatkan. Siswa mampu memberikan kontribusi yang sangat besar dalam proses peningkatan mutu sekolah.

Menurut Colin dan Stephen, hal positif lain dari aplikasikan TQM adalah proses manajemen ini mampu menciptakan pemberdayaan dan demokratisasi dalam pendidikan. TQM mampu memberikan peningkatan profesionalisme guru, terutama dengan adanya kesadaran bahwa murid harus lebih berpartisipasi dan diberdayakan dalam pencapaian prestasi pendidikan. TQM juga memudahkan sekolah saat menjalani evaluasi external, dalam sistem kita akreditasi oleh BAP, karena aplikasi TQM merupakan sebuah sistem peningkatan mutu internal sekolah, di semua proses pendidikan sekolah.

—————

Jadi, bagaimana kalau MBM disisipi, arahkan atau diganti dengan TQM? Hhhmmm…?

Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat.
Salam Teamwork (Reliability-Respect-Honesty-Empowering-Focus)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *