Pendidikan Bermutu, Pendidikan Berkarakter

Baiklah, sejenak kita pinggirkan dulu pertanyaan dalam tulisan sebelumnya ‘bagaimana caranya bila output kegiatan tercapai, outcome pasti tercapai?” Ah, pertanyaan itu terlalu ambius, terlalu mekanis dan seolah hampir mengklaim kekuasaan Tuhan. Mana mungkin, saat ada teman sakit batuk dan sesak nafas, lalu dokter menyuntikkannya obat (output), otomatis teman itu sembuh dan mau berperilaku sehat (outcome)? Jadi, kita ubah perrtanyaannya, “Bagaimana caranya, bila output kegiatan tercapai, makan outcome dapat dengan dengan lebih mudah tercapai?”.

Oke, pertanyaan ini lebih baik. Untuk menjawabnya, kita butuh waktu yang cukup panjang, perlu diskusi yang lebih intensif, harus ada referensi yang memadai, dan wajib punya nyali untuk menjawabnya. Insyaallah. Dan, itupun belum termasuk pembahasan input dari Pak Asep dan Pak Miftah.

————–

Namanya Agus, saya tidak tahu nama lengkapnya. Bertemu dan berkenalan di sebuah tempat makan, saat kami menunggu penerbangan kami, dia ke Solo, saya ke Surabaya. Dia terlambat, checking time sudah tutup. Itulah topik awal yang kami obrolkan. Tak ada yang istimewa, sampai pada topik tentang pekerjaan kami. Saya jelaskan apa pekerjaan saya. “Kalau Pak Agus, kerja dimana?” tanya saya.

Dia seorang supervisor sebuah bank BUMN besar yang fokus di mikro financing. Kantornya di salah satu cabang di Tanah Abang, Jakarta. Dia memberikan supervisi ke 8 kantor kas di area itu. “Kalau soal kredit mikro, tak ada yang mengalahkan bank bapak?” ungkap saya secara retoris, mengharap ada konfirmasi darinya. “Wah, sekarang tantangannya berat, Pak?” Wah kok bisa? apa karena banyak bank lain yang membuka sektor micro financing, seperti model simpan pinjam itu? Tanya saya sambil mencontohkan bank-bank yang mulai bekerja di level yang sama, di kecamatan yang sama dengan bank si pak Agus ini.

“Ya itu satu hal. Tapi ada hal lain,” jawabnya. Ini menarik, dalam hati saya. Dan ini membuat saya menggeser kursi untuk lebih mendekat. Penasaran dan ingin tahu. Apa itu, pak? Tanya saya. Begini, para pegawai generasi saat ini, setidaknya di bank dia, anak-anaknya lemah. Mereka itu pintar, jenius dan banyak referensinya. Sedikit ada masalah, mereka mutung dan stress. Sedikit bertugas, mereka berkonflik. Baru saja ditempatkan, mereka sudah minta pindah. Mereka tidak punya mental bertarung, berkompetisi. Tidak mampu bertarung atau tidak mampu keluar dari masalah, mereka undir diri, resign. Gampang sekali pindah-pindah kerja, bukan karena tawaran tapi karena mereka sendiri rapuh.

“Menurut Bapak, ini kenapa terjadi?” tanya saya. Menurutnya, karakter tangguh tidak diciptakan oleh keluarga dan lembaga pendidikan mereka. Lalu dia bercerita. Jaman pak Agus dulu, dia mau sekolah atau tidak, pilihannya berat. Kalau sekolah, maka banyak hal yang harus dikerjakan di sekolah dan itu tidak menyenangkan. Kalau tidak sekolah, pilihannya membantu orangtua di ladang. Bapak dan ibunya setiap hari ke ladang mengurus kacang panjang dan sawah mengurus padi.

Nah, anak-anak saat ini, termasuk pegawai Pak Agus, pergi ke sekolah saja diantar, kadang PR saja dibantu mengerjakannya oleh orangtua mereka. “Mereka gak punya karakter tangguh,” demikian dia membuat simpulan.

Sebagai salah seorang yang bekerja di sektor pendidikan, saya tersindir juga nih. Duh!

———

Soal membangun karakter, sepertinya sempat juga saya tulis sebelumnya. Pembicaraan dengan pak Agus itu membuat saya perlu mengintip satu set buku tentang pendidikan karakter yang diterbitkan oleh Chelsea House pada tahun 2009, yang telah lama saya simpan tapi sejujurnya saya belum pernah baca dengan detail. Setiap buku itu ditulis oleh pakar yang berbeda, seperti berikut:

1. Character Education: Being a Leader and Making Decisions

2. Character Education: Being Fair and Honest

3. Character Education: Dealing with Bullying

4. Character Education: Dealing with Frustration and Anger

5. Character Education: Handling Peer Pressure

6. Character Education: Handling Teamwork and Respect for Others,

7. Character Education: Managing Conflict Resolution

8. Character Education: Managing Responsibilities

9. Character Education: Overcoming Prejudice

Penomoran daftar itu saya yang bikin, setiap buku dapat dibaca secara acak dan terpisah. Hanya saja, kita harus melewati semua buku itu untuk menjalani pengembaraan pendidikan karakter, agar utuh. Sama halnya dengan pelatihan modul kita. Setiap modul dapat berdiri sendiri. Hanya saja, untuk mengembara ke 8 SNP, maka semua modul pelatihan kita harus dilatihkan dan diterapkan.

Para editor dan penulis buku di seri pendidikan karakter ini beritca-cita untuk membantu pembaca untuk memahami dan menjalani pendidikan kareakter, untuk menjadi orang yang berkarakter. Nyatanya, buku ini dibuat oleh para penulis Amerika dangan konteks Amerika pula. Mungkin akan ada pembaca yang bersifat denial, menolak atau menutup diri bahwa karakter sebuah bangsa akan berbeda dengan karakter bangsa yang lain.

Saya pikir, bisa saja demikian. Cuman secara pribadi saya berkeyakinan bahwa ada karakter manusia yang bersifat universal. Seperti yang ditulis oleh editor, karakter universal itu mencakup (misalnya) kejujuran, disiplin, keadilan, saing hormat, tim kerja, kepemimpinan, toleran, kejujuran, keinginan untuk berbuat dan menyebar kebaikan dan seterusnya. Nah, yang universal ini, saya kira dapat kita pelajari dari hikmah-hikmah lintas bangsa, lintas kawasan, lintas generasi.

Para penulis buku ini menyakini bahwa pendidikan karakter bukanlah sekedar ilmu pengetahuan, namun sebuah tugas dan kebutuhan kemanusiaan yang ditempa sepanjang hayat. Hal yang demikian ini tentu sangat menantang untuk dijalani.

Menurut Marie-Therese Miller, dalam Character Education: Managing Responsibilities, ada beda yang jelas antara orang yang memenuhi dan menjalani tanggung jawab dan orang yang memiliki karakter bertanggung jawab. Maksudnya begini, yang pertama, kita dapat menjumpai orang memenuhi dan menjalani secara tuntas tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Namun pada saat yang sama, kita ngomel-ngomel, berkeluh kesah atau protes di sana sini tentang bagaimana orang lain harus berbuat atau menyikapi tindakan kita dalam memenuhi tanggung jawab.

Di sisi yang lain, ada orang yang melakukan sesuatu dengan kesadaran bahwa peran yang ia terima harus dijalani, dengan segala potensi diri dan energi positif yang ia miliki, dengan segala keikhlasan untuk menghadapi resiko dan tantangan. Kita misalkan saja sholat atau ibadah wajib lainnya, tentu orang dengan karakter kedua itulah hanya kita menjalani tanggung jawab itu. Nah, karakter bertanggung jawab seperti inilakita yang perlu dikembangkan ke dalam asek-aspek lain dalam tanggung jawab sosial, tanggung jawab politikk, budaya, ekonomi dan seterusnya. Sebuah tanggung jawab yang tidak hanya di bidang keagamaan.

Saya satu pendapat dengan para penulis itu yang bersepakat bahwa, karakter dibangun bukan hanya lewat sebuah pemahaman sebuah nilai, internalisasi nilai, tapi yang paling penting adalah implementasi nilai dalam tindakan keseharian. Tidak bisa diterima bila kita bilang bahwa korupsi itu jelek, jahat dan merusak masyarakat, bila kita sendiri tetap berkorupsi. Kita tahu bahwa nilai anti-korupsi dan kejujuran itu baik, tapi selagi kita tetap melakukan korupsi dan tidak jujur, kita belum berkarater jujur dan anti korupsi.

Misal, sepertiAPBN dan APBD, jalan umum, bahu jalan, dan pedestrian adalah milik publik. Bila kita memakai ruang publik untuk parkir mobil pribadi kita setiap waktu dalam tempo lama layaknya jalan umum itu adalah garasi kita, atau memakainya untuk kepentingan pribadi seperti seperti berjualan, artinya, kita memakai hak publik yang bukan hanya miliki kita tapi juga orang lain. Hal demikian ini, saya yakini, adalah pertanda bahwa karakter kita yang belum anti korupsi.

———–

Membangun karakter itu berat, karena itulah tujuan dari penyelenggaraan pendidikan. Ia butuh pengetahuan nilai, butuh latihan, butuh dukungan, butuh waktu dan butuh pengorbanan. Lalu, kembali ke keluah Pak Agus itu tentang karakter tangguh itu, dalam konteks pendidikan kita, apakah ada di kegiatan ekstra kurikuler seperti Pramuka, PMR, bela diri? Nah, pertanyaan selanjutnya, ketika anak-anak kita ikut pramuka, PMR, dan bela diri (output), apakah mereka akan dijamin menjadi anak yang mampu berdikari dan tangguh (outcome)? Ugghhh!!! Pertanyaan ini betul-betul mengganggu saya.

Demikian, semoga bermanfaat.

 

Salam Teamwork (Reliability-Respect-Honesty-Empowering-Focus)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *