Gairah untuk Maju : Kunci Sukses

Dua hari ini saya bertugas untuk mendampingi Manajer C3, dalam melakukan monitoring visit ke empat madrasah madrasah. Visit kali ini merupakan joint monitoring antara DFAT, UPPAM dan C3. Hal yang membuat saya sangat bergairah untuk monitoring visit kali adalah dua madrasah sasaran Kemitraan Pendidikan, satu MI ber-baseline TT dan terakreditasi A oleh BAP, satunya adalah MTs yang mendapat TT di baseline dan B dalam visitasi BAP. Ini menarik, dengan alasan MI itu berada di pelosok dalam Kalimantan Timur, dan MTs berkategori tepi (periferal) perkotaan Samarinda.

Pertanyaan pribadi saya adalah, kenapa MI jauh lebih mudah mendapatkan nilai akreditasi A, daripada MTs? Bila kawan-kawan melihat tabulasi hasil visitasi BAP pada madrasah Tahap1, maka trennya adalah MI lebih banyak mendapatkan A dari pada MTs. Nah, dalam visit kali ini ingin mendapatkan jawaban awal dari pertanyaan “kenapa” ini.

Kedua, kenapa saya sangat bergairah dalam visit ini adalah, ada madrasah dampingan MI dan MTs yang merupakan madrasah sasaran program Up-grading dari UPPAM yang dibiayai oleh APBN. Saya sangat ingin tahu, sejauh mana kemajuannya dan bagaimana implementasi pengelolaannya. Tentu saja ada batasannya, ada code of conduct-nya, misalnya seperti yang disampaikan Ibu Jenny selaku Education Manager DFAT, bahwa DFAT tidak dalam posisi mengawasi dan menilai program yang didesain, dikelola oleh Kementerian.

Visit kali ini bertujuan untuk berbagai informasi langsung dari madrasah hikmah/lessons apa yang bisa kita pelajari bersama untuk pengembangan program peningkatan mutu madrasah, yang bisa dikerjasamakan, disinergikan, dan saling melengkapi antara kedua pihak.

Yaa.. itu tujuan formalnya. ya, sejujurnya, saya punya pertanyaan nakal juga di kepala saya, “memang ngga boleh untuk sekedar tahu, apa sih perbedaan keduanya dan apa dampak dari perbedaaan itu?” Sepertinya sebuah skripsi saja tak cukup untuk menjawab pertanyaan besar ini, tapi boleh lah saya singgung sedikit pada tulisan yang lain.

Baiklah, saya akan fokus dulu di pertanyaan awal saya, kenapa MI jauh lebih banyak mendapatkan hasil akreditasi A dari pada MTs. Dalam data madrasah Tahap 1 yang diakreditasi 2013, sebanyak 519 madrasah (46 akan diakreditasi pada kuota 2014), terdapat 187 madrasah yang mendapat nilai A. Rinciannya, MI terakriditasi A sebanyak106 dan MTs sebanyak 81. Gap datanya sebanyak 25 madrasah, dengan keunggulan MI. Kalau B dimasukkan, total lembaga 317 terakreditasi B, dengan MI sebanyak 159 dan MTs sebanyak 158. Gap-nya hanya 1 madrasah. Kenapa ini terjadi, bahwa MI lebih banyak A?

Tentu saja, jawaban yang paling mudah adalah “Terang saja, ‘kan MI dan SD hanya 157 butir pertanyaan dalam Instrument Akreditasi, sementara MTs-SMP 169 butir/item. Itu artinya, pertanyaan IA MTs jauh lebih banyak, alat bukti yang harus diberikan jauh lebih besar. Dampaknya, kerja-kerja tim MTs jauh lebih banyak, lebih berat dan lebih besar. Misalnya, tak ada kewajiban LAB IPA di MI, sementara MTs punya tagihan yang harus berbukti. Iya kan?” Ya, iyalah. Tak diragukan. Saya sepakat, setuju, sependapat, se-ide, seirama wa ‘ala ashabihim waa furu’ihim.

Hanya saja, saya tidak satu pendirian dan jawaban itu tidak cukup. Buktinya, banyak juga MTs yang terakreditasi A, 81 lembaga. Artinya, banyak MTs yang bisa berhasil mencapai nilai tertinggi. Hanya saja, kenapa MI sasaran kita lebih banyak yang mencapai A. Lha kalau mau jawab seperti di atas itu, ya…boleh dibilang hal itu simplisistik, terlalu menyederhanakan jawaban, yang akhir akan tertanam kesadaran dalam diri bahwa MTs akan lebih sulit mencapai A. Bila ini sampai terjadi, ini bahaya untuk diri kita, dan untuk madrasah. Menjawab seperti itu juga sedikit menyedihkan bagi kita, seolah kerja pelatihan, pendampingan dan monitoring kita selama ini akan mentok dan jumud oleh tantang instrumental itu. Padahal poinnya adalah MTs bisa dan mampu mencapai A. Ini adalah pencapaian itu dihasilkan dari kerja keras. Ini harus diapresiasi, dipelajari dan dipahami, dikabarluaskan, dan disebarluaskan.

Nah, dengan kesadaran ini, kita kemudian akan berpikir lebih positif, lebih dinamis, lebih visioner dalam mengembangkan mutu pendidikan di MTs. Lalu, apa jawabannya? Jawaban saya ini adalah hasil observasi saya semata, dan itupun hanya di dua madrasah yang saya “adu” secara head-to-head. Jadi, tak ada basis untuk generalisasi, dan hanya sekedar mencatat hikmah, lessons learned, sebuah refleksi dari apa yang saya lihat. Dan penyajian tulisan kali ini, saya tak akan sertakan konfirmasi teori atau hasil riset pada hikmah-hikmah yang saya temukan ini.

Pertama, kepala madrasah di MI seorang perempuan dan masih muda mungkin sekitar 30 tahun, sementara di MTs seorang pria yang saya kira berumur sekitar 50tahun. Kalau soal perempuan atau laki-laki, saya pikir, semua orang dapat mengembangkan potensi dan kompetensinya dalam mengelola madrasah, tanpa kita terjebak dalam analisa, prasanka dan stereotip yang bias gender. Namun kalau soal umur dalam kondisi normal, biasanya orang muda akan lebih enerjik, lebih bergairah, lebih cekatan, dan lebih cepat dalam bergerak. Bukan hanya sang kepala madrasah, para guru di MI itu juga lebih banyak yang muda daripada yang di MTs.

Kedua, “dana hibah ini tidak besar, tapi ilmunya yang begitu besar untuk memajukan madrasah,” ujar kepala MI itu. Disadarinya, dana hibah ini harus dipersiapkan sedemikian rupa, sehingga “RKM dan anggaran saja kami harus merevisi 5 kali. Di awal program, menyusun RKM itu bukan hanya berdarah-darah, tapi SANGAT berdarah-darah” tandas sang perempuan kepala. Saya menangkap pesan, hibah memang tidak besar bila dibanding kebutuhan madrasah untuk maju, dan untuk mendapatkan dan menerapkan hibah bukanlah pekerjaan yang ringan. Lebih dari itu, di kalangan MI itu saya melihat sikap dan berpikir terbuka (open minded) terhadap hal baru yang baik dan hebat, dan meyakini bahwa hal baru yang ditawarkan program ini bisa meningkatkan mutu madrasah. Dan, itulah yang dipandang penting oleh si perempuan kepala, “ilmunya yang begitu besar” dalam program ini. Sementara, sikap dan pikiran tersebut tidak begitu kuat terlihat di kalangan pengelola MTs itu.

Ketiga adalah aspek kepemimpinan. Di MTs itu sang kepala madrasah adalah seorang guru silat, seorang pendekar utama di kota Samarinda. Dalam kesempatan jalan-jalan keliling madrasah setelah pertemuan formal, sang kepala berujar, “semua guru di sini adalah murid (silat) saya”. Lazimnya di lingkungan madrasah, hubungan guru-murid itu bersifat patron – klien, bersifat ordinat – sub-ordinat, bersifat kyai – santri. Saya mencurigai, dan semoga saya salah karena madrasah sudah di latih ESI dan MBM, hal yang demikian itu berdampak pada pola kepemimpinan di lingkungan madrasah ini. Di MI, saya melihat hal yang berbeda. Pola interaksi kepala madrasah dengan guru itu lebih cair, lebih egaliter dan tak terlihat batasan struktural. Dan di antara mereka, banyak senyuman tersebar. Sehingga, saya kemudian juga berprasangka baik bahwa kepemimpinan di madrasah ini sudah terdistribusi, sebuah kepemimpinan bersama.

Keempat, dalam pertemuan di MTs, orang yang dihadirkan oleh pihak madrasah adalah kepala madrasah, yayasan, guru, orangtua murid, ketua RT, dan perwakilan Kemenag. Sementara, pengelola MI itu menghadirkan Kepala madrasah, guru, yayasan, orangtua murid, kepala desa, Camat, kepala Kemenag. Nah, saya bertanya pada kawan-kawan, dari daftar hadir itu siapa kiranya yang paling kuat jaringan dan kemitraan madrasah dengan masyarakatnya, MI atau MTs?

Kelima, adalah kelaziman, lumrah, tipikal dan wajar bahwa MI berhubungan dengan anak umur 6-12 tahun, dan MTs 13-15 tahun. Malah aneh bila ada MTs yang punya banyak murid berumur 8-10 tahun, dan sebaliknya MI punya banyak murid berumur 14 tahun. Oleh karenanya, lazim pula bila anak-anak MI lebih bergairah, lebih jujur, lebih patuh, lebih bergairah, lebih gaduh dan lebih ceria. Sementara di MTs, anak-anak sudah masuk masa puber, cara berpikir sudah lebih matang, akses informasi lebih luas, dan pada titik tertentu murid MTs berpandangan bahwa dunia dan pergaulan di luar madrasah begitu menggairahkan, begitu menggoda dan penuh keceriaan. Asumsi saya, dunia anak MI itu hanya dua: rumah dan madrasah. Artinya, bagi murid MI hidup itu bila tidak di rumah yaa di madrasah, hampir separuh perhatian mereka berkaitan dengan madrasah.

Sementara anak MTs memiliki cakupan yang lebih luas rumah, madrasah, tempat bergaul, awal-awal pacaran, hiburan dan seterusnya, atau bahkan justru sebaliknya membantu orang tua mencari nafkah. Artinya, bagi murid MTs, hidup bisa menjadi sangat kompleks, dan fokus pada madrasah hanya se-per-sekian dalam hidup mereka. Artinya, mobilisasi dan partisipasi murid (dan orangtua murid?) MI untuk terlibat dalam kegiatan madrasah (misalnya, untuk standar SKL) jauh lebih mudah daripada MTs.

Jadi, bila saya ditanya kenapa kenapa MI jauh lebih banyak mencapai akreditasi A, maka jawaban saya mungkin akan seperti di atas. Sehingga, ada ruang yang lebih luas bagi saya untuk melakukan kerja-kerja (kerennya, intervensi) peningkatan mutu di MTs.

Saya ucapkan terima kasih pada tim SNIP Kaltim yang telah memfasilitasi visit ini. Bravo!

——————

Nah, sekarang kalau saya bertanya kepada kawan-kawan, kenapa MTs lebih sedikit terakreditasi A? Anda akan menjawab apa?

——————

Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat.

Salam Teamwork (Reliability-Respect-Honesty-Empowering-Focus)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *