Mengapa Akreditasi Penting?

Akhirnya, pecah juga bisul akreditasi lembaga pendidikan. Selama ini banyak sekali lembaga pendidikan di semua jenjang, baik di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Agama, yang belum diakreditasi atau akreditasinya habis. Selama ini pula mereka diam dan tetap merasa aman. Kenapa? Jawabnnya sederhana, pemerintah belum akan menerapkan kebijakan sanksi-sanksi dalam UU Sisdiknas 2003 kepada lembaga-lembaga pendidikan yang belum diakreditasi.

Memang benar, belum. Walau belum tahu kapan, sanksi itu akan diterap. Jadi, bagi mereka masih ada waktu untuk mempersiapkannya, atau bahkan waktu untuk berleha-leha. Makanya, saya mengibaratkan kondisi ini seperti bisul, membuat infeksi dan memiliki efek yang beranak pinak.

Namun, ternyata bisul itu pecah bukan oleh penerapan kebijakan dengan memberikan sanksi kepada lembaga pendidikan yang belum diakreditasi. Bukan oleh pemerintah. Ternyata, bisul itu dipecahkan oleh alumni lembaga pendidikan, oleh mantan anak didik, oleh konsumen lembaga pendidikan itu sendiri. Kenapa begitu? Karena ijasah lembaga yang diakreditasi tidak laku di pasaran, tidak laku karena tidak diakui. Karena ijasahanya tidak diakui akibat status akreditasi yang usang alias kadaluarsa, si alumni menuntut penyedia jasa pendidikan, menuntut lembaganya, menuntut rektor dan dekannya.

Betul, kasus itu memang menimpa sebuah universitas di Ibukota. Tapi bukan tidak mungkin menimpa institusi pendidikan level di bawahnya, seperti SMA, SMK dan Madrasah Aliyah. Kita ambil satu contoh, ada lulusan madrasah aliyah yang belum diakreditasi. Dengan ketidaktahuannya, si fulan sang alumni ternyata di terima di universitas paling bonafit di jurusannya, diterima di univertas besar. Karena nilainya bagus, si fulan mendapat beasiswa. Setelah satu semester, baru diketahui bahwa ijasahnya dinyatakan tidak sah karena madrasahnya tidak diakreditasi. Dia dikeluarkan dari kampusnya. Apa yang terjadi dengan si fulan?

Kekecewaan yang tidak tara. Tidak itu saja, masa depannya pun gelap gulita, karenya menyadari ijasah yang dia pegang dengan usaha belajar tiga tahun di madrasah itu ternyata tidak ada artinya, tidak bermakna. Hanya satu arti penting ijasah itu: alat bukti di pengadilan bahwa dia telah ditipu.

Kasus lain bisa terjadi, misalnya, bila si fulan menjadi caleg dan terpilih dalam pemilu. Atau bahkan mengikuti pemilihan bupati, dan terpilih. Sebelum dilantik, baru diketahui bahwa ijasah dia invalid, tidak sah menurut hukum. Bisa dibayangkan apa yang terjadi? Saya tidak bisa membayangkan bila ternyata dia alumni madrasah aliyah, dan menuntut kepala madrahnya, apalagi si kepala adalah seorang kyai…innalillahi.

Kasus di universitas itu hendaknya menyadarkan kita tentang pentingnya akreditasi, dan begitu seriusnya konsekuensi bila proses itu diabaikan. Kita harus menyadarkan para kepala madrasah, termasuk semua pengelola lembaga pendidikan, untuk menyegerakan proses akreditasi. Pemerintah mungkin belum akan menerapkan sanksi. Tapi lulusan telah diwisuda, memasuki lembaga pendidikan yang lebih tinggi dan/atau memasuki dunia kerja. Mereka anak didik, dan pada saat yang sama mereka adalah konsumen, dalam pengertian mereka “membeli” jasa kependidikan dari para penyedianya. Madrasah harus disadarkan dan kita (C3 dan SNIP) hadir untuk membantu mereka mempersiapkan hasil terbaiknya.

Tentang akreditasi ini, sedari awal kita harus meneguhkan diri bahwa akreditasi bukanlah proses penyiapan kelengkapan administrasi dan penataan tumpukan dokumentasi pendidikan. Akreditasi bukan hanya semata-mata proses pengisian instrumen atau borang semata. Yang kita inginkan adalah akreditasi sebagai sebuah proses peningkatan mutu pendidikan di madrasah.

Proses ini bukan dikerjakan oleh semua komponen madrasah dalam satu minggu. Akreditasi kita adalah akreditasi yang bermakna, yang membutuhkan proses panjang, dan harus dikerjakan oleh semua komponen madrasah. Dengan pemahaman ini, kita kemudian akan menyadari bahwa akreditasi merupakan sebuah proses penjaminan mutu pendidikan, seperti yang diamatkan oleh konstitusi kita.

Dalam seminar yang dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional, seorang pembicara yang adalah staf ahli Mendikbud ( adduuchh!!!, saya lupa namanya! Maaf), menyatakan bahwa kita jangan terjebak bahwa penjaminan mutu adalah tugas dan tanggung jawab lembaga eksternal, apalagi lembaga pemerintah. Sudah selayaknya sekolah dan madrasah mengadopsi praktek penjaminan mutu secara internal, seperti di negara-negara maju. Di sana, sekolah melakukan penjaminan mutu secara internal. Setelah mereka lulus di proses internal itu, mereka kemudian menjaminkan mutu pendidikannya kepada lembaga eksternal.

Saya pikir, ide itu cukup menarik sekaligus cukup menantang. Saya pikir, kita bisa. Kalau anda?

 

Semoga bermanfaat. Salam sukses!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *