Membangun Mutu : Bekerja dengan Sistem

Saat bertemu teman lama adalah momen yang menyenangkan. Melepas rindu pada nostagia, berbagi cerita. Itu juga yang saya rasakan saat bertemu kawan kawan lama saya. Lebih komplit lagi, momen saya itu sudah ada janjian. Di kedai kopi. Satu hal lagi, kami saling tukar kartu nama. Dari sekian kartu nama, ternyata posisi yang paling panjang itu milik saya: Sub-National Institutional Capacity Development Advisor.

Saya juga nyengir aja, ada enam kata sementara yang lain maksimal empat kata. Kerjaannya apaan tuch, tanya seorang teman. Terpaksalah saya harus jelaskan program Kemitraan Pendidikan ini, sebelum menjelaskan posisi saya. Jauh bener kan? Yaa begitulah, tapi itu konsekuensi untuk memberi konteks pekerjaan saya.

Saya saat ini tak akan menuliskan apa yg saya ceritakan ke teman saya itu. Tidak. Kalau dengan kawan-kawan SNIP, itu barang basi, udah biasa, wis tau! Saya hanya akan menuliskan tentang terma “capacity development” itu.

Secara historis, terma ini berasal dari berbagai program bantuan internasional paska Perang Dunia II (* oleh karenanya, kritik dari kaum teoritisi kiri, ia tak lepas dari imperialisme dalam bentuk yang lain. Lain kali saja nulis soal ini yaaa..tapi juga bukan sebuah janji, lho). Kemudian, sejalan dengan waktu, kalangan pengelola program pembangunan yang terpusat di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) semakin mempertajam definisinya. Bahkan, beberapa lembaga donor dunia memiliki definisi yang sedikit brbeda satu sama lain. Pada konteks tertentu, capacity development sering bertukar arti dengan capacity building.

Soal perbedaannya, ada dalam diskusi “Capacity Building in Indonesia: Building What Capacity?” oleh Ismet Fanany, Rebecca Fanany and Sue Kenny, dalam buku kompilasi “Challenging Capacity Building: Comparative Perspectives” (2010). Saya akan pakai terma Capacity Development (CD) saja.

Pada intinya, capacity development itu menyangkut pengembangan kemampuan, kecakapan dan pengetahun individu, organisasi, dan masyarakat untuk hidup secara lebih baik dan semakin baik. Konkritnya, contoh saja ini, C3 memberi pelatihan Monitoring dan Evaluasi untuk ketua dan direktur SNIP. Itu akan memiliki dua dampak. Satu, secara individual, para direktur dan ketua itu paham pentingnya M&E untuk organisasi, dan tahu caranya memonitor dan mengevaluasi kegiatan. Ini artinya, secara individual kapasitas mereka meningkat. Kedua, bila ada ketua tim pelaksana ada yang meminta template monitoring dan evaluasi, kemudian yang bersangkutan mengisi template itu, dan mendapatkan manfaat dari proses pengisian template itu, seperti tersedianya data untuk membuat keputusan dan melakukan perubahan kegiatan yang lebih baik, maka dapat disebut secara organisasional lembaganya sudah memiliki kapasitas lebih baik dalam monitoring dan evaluasi kegiatan.

Nach, sekarang apa bentuk peningkatan kapasitas secara kolektif kemasyaratan. Penjelasan praktisnya begini. Saat ini kita sedang bekerja untuk meningkatkan mutu pendidikan madrasah. Premisnya, bila mutu madrasah meningkat, mereka akan siap dan percaya diri untuk menjalani proses akreditasi ini BAP.

Seperti kita pahami, Madrasah berada dalam koordinasi Kemenag. Artinya, program peningkatan mutu ini menjadi tanggung jawab mereka. Kondisinya, Sumberdaya Kemenag terbatas, baik dari sisi jumlah SDM maupun ketersediaan dananya, sementara kebutuhan terhadap keduanya begitu besar. Untuk masalah dana, perlu kerja sama dengan pemda selaku pengelola APBD.

Untuk memasukkan angka dalam APBD bagi madrasah perlu bekerja dengan DPRD. Legislatif perlu berkonsultasi dengan Dewan Pendidikan. Perencanaannya, harus dikerjakan bersama dengan Bappeda dan Diknas. Untuk legalitasnya, mereka butuh kebijakan nasionalnya, dst. Itu soal dana.

Untuk pemenuhan SDM Kemenag, rekrutmen PNS sebagai opsi penambahan tentu memerlukan proses yang panjang, sementara target Kementerian sudah dekat. Jadi, itu pilihan sulit. Maka diperlukan tim profesional dan ahli dalam meningkatkan mutu madrasah dan mempersiapkan mereka divisitasi oleh BAP. Thus, tim ini berada di luar proses rekruitmen PNS. Maka pilihannya adalah bekerja sama dengan lembaga mitra. Dalam prakteknya, Lembaga mitra inilah yang bekerja di level lapangan.

Setelah madrasah mutunya diyakini meningkat, maka mereka diajukan ke BAP. Agar ada persiapan yang matang, BAP diajak bekerja sama tentang madrasah mana yang perlu divisitasi terlebih dahulu.

Dalam konteks program kita, itulah sistem sosial dan ketatanegaraan untuk mempersiapkan madrasah diakreditasi. Sistem ini bertingkat dan beririsan, dari level nasional hingga level madrasah. Hubungan kerjanya kemudian membentuk jaring, membentuk sistem kerja. Sistem itu sudah ada. Sistem itu sudah bekerja. Sistem itulah yang ada dalam dokumen “Kerangka Strategis Program Akreditasi Madrasah” yang dibuat oleh Kementerian Agama.

Hanya saja, sistem itu bekerja tidak dalam sebuah sinergi, bahkan dalam hubungan yang tidak saling menyapa, terkadang tidak saling mengenali fungsinya. Nah, sistem inilah yang akan didukung oleh C3 guna ditingkatkan kapasitasnya . Karena sistem sudah ada, maka C3 tidak perlu membuka cabang di setiap propinsi. Itulah juga kenapa C3 sangat mendorong lembaga mitra untuk memakai nama mereka secara eksternal, untuk diperkenalkan dan “dijual” sebagai bagian dari sistem itu di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota hingga madrasah.

Dan, tugas kita semua meningkatkan dan memajukan sistem peningkatan mutu madrasah dan persiapan akreditasinya. Bila sistem ini berjalan baik dan berfungsi dengan efektif, hal itu berarti kita secara bersama-ma telah membangun pengembangan kapasitas sebuah masyarakat, sebuah masyarakat pendidikan, wal bil khusus masyarakat pendidikan Islam sub-sektor pendidikan dasar sembilan tahun.

————-

“Berat juga ya tugas mu,” respons teman saya itu. Saya jawab singkat, Nggak!

“Oh ya!? Kok bisa?” Tanyanya agak heran.

Karena, saya bekerja dengan tim-tim yang hebat di kantor dan di setiap propinsi sasaran.

 

Semoga Bermanfaat. Salam Sukses!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *